lagu dan sikap politik jaman soekarno
Sumber: Majalah PROGRESS, No.1, Jilid 3, 1993.
Kurun revolusi (1945-1949) merupakan kurun yang begitu kuat membekas
dalam sanubari masyarakat Indonesia. Berbagai peristiwa heroisme,
sekecil apapun, sulit untuk dilupakan. Selain itu dalam kurun ini juga
ditandai kemunculan laskar-laskar, partai-partai dengan ideologi
beragam.
Revolusi kemerdekaan menjadi puncak perlawanan yang secara sistematis
dilakukan sejak awal abad ini. Pengenyahan terhadap unsur yang dianggap
menindas, menghisap rakyat berlangsung sejak lama. Sebagaimana
diketahui, perkembangan pemahaman bumi putera terhadap kolonialisasi
sejak tahun belasan (1910-an) mengarah pada semua kondisi buruk yang
berlangsung dalam masyarakat disebabkan struktur sosial yang kapitalis.
Puncak pertama dari gerakan menentang penghisapan kapitalisme terjadi
dalam pemberontakan 1926/1927 yang berlangsung di Jawa dan Sumatra.
Banyak kelompok masyarakat yang dibentuk dalam paruh kedua tahun
1940-an, berkencenderungan meng-kiri-kan revolusi. Seperti PSI, Pemuda
Sosialis Indonesia (pesindo), Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia
(SOBSI) yang dibentuk tahun 1947—berjalan efektif sampai tahun 1966,
diketuai Njono (putra buruh kereta api). Rata-rata mereka mempunyai
organisasi sebagai wahana komunikasi kelompoknya dengan masyarakat. PSI
menerbitkan Pembaroean, Pesindo mengeluarkan Pembela Ra’jat. Sedang
PKI—dalam tahun 1923 menerbitkan Kiri—sejak awal revolusi menerbitkan
Bintang Merah. Dalam arus kiri ini tidak luput pula Kementerian
Pertahanan Staf Pendidikan Politik Tentara Jogjakarta menerbitkan
buletin “kiri” Soeloeh Tentara (edisi pertama terbit tahun 1947). Sejak
nomor ke-4 (Maret 1947), mungkin dalam rangka menunjukkan terbitan ini
kiri, disetiap kover buletin ia cantumkan gambar bintang merah.
Artikel-artikel yang dimuat mulai memperkenalkan informasi dunia
sosialis seperti “Tentara Wanita Tiongkok” “Beroeang Merah”(no 7, Mei
1947)—yang membahas Rusia dimasa Stalin. Soeloeh Tentara mengangkat
isu-isu antara lain : buruh, tani, tentara rakyat, kelaskaran yang
dikaitkan dengan pendidikan politik. Dalam berkembangan berkesenian,
tokoh-tokoh seperti W.R Supratman, Kusbini, Ismail Marzuki, C.
Simanjuntak dan sebagainya, juga melahirkan lagu-lagu yang dapat
digunakan untuk menyemangati rakyat yang berjuang. Seperti Lagu
“Indonesia Raya” karya W.R Supratman; juga karya C. Simanjuntak “Maju
Tak Gentar”, “Tanah Air Tumpah Darah”, karya Ismail Marzuki “Halo-Halo
Bandung”, “Karangan Bunga dari Selatan”, “Gugur Bunga”, L. Manik “Satu
Nusa Satu Bangsa”, maupunkarya kusbini “Bagimu Negeri”. “Indonesia
Raya”—kelahirannya diinspirasi oleh gerakan pemuda dalam paruh akhir
tahun 1920-an, dan pertama kali diperdengarkan dalam permainan biola
pada konggres Pemuda Indonesia II (27-28 Oktober 1928)—setelah ditinjau
kembali lirik dan pengulangan-pengulangannya pada september 1944,
akhirnya diterima sebagai lagu wajib kebangsaan dalam tahun 1953. Dalam
tahun 1950-an kita dapati, dua jenis lirik lagu politik pertama,
lagu-lagu yang bercorak “nasionalisme”—perlawanan maupun sikap anti
terhadap unsur-unsur kekuasaan asing (Barat), imperialisme maupun
neo-kolonialisme. Kedua, lagu yang mempersoalkan sistem kapitalisme yang
masih berlangsung. Untuk jenis pertama, kita akan jumpai mimpi-mimpi
heroisme yang dipaksakan ke rakyat untuk menanamkan semangat bela
negara. Sering kali Chauvinis dan Fasist. Kata-kata seperti : “ini
dadaku, mana dadamu”, “rebut”, “ganyang”, “gempur”, merupakan kosakata
yang lumrah ditemui dalam syair-syair lagu ini. Lagu “Nasakom Bersatu”,
karya Soebroto Ki Atmajo, disiapkan dalam rangka menyambut hari sumpah
pemuda tahun 1961. Lirik selengkapnya berbunyi :
Atjungkan tindju kita, satu padu (bersatu)/ Bulat semangat kita,
Hajo! Terus Madju/Nasakom bersatu, singkirkan kepala batu/Nasakom satu
tjita, sosialismepasti djaja/
Fenomena seperti ini, nampaknya, juga pernah berlangsung di Jerman
semasa berkuasanya Hitler. Gambaran seperti itu, kadang terjadi
dinegeri-negeri selepas mengalami peperangan. Misalnya, Jerman pasca
perang dunia II. Perkembangan di Indonesia secara lebih intens,
berlangsung setelah diberlakukannyasistem demokrasi terpimpin, dalam
tahun 1959. Oleh Soekarno, jargon-jargon Revolusi dihidupkan kembali.
Tujuan Soekarno semata-mata hanyalah dalam rangka : ganyang imperialisme
(jargon Soekarno yang paling terkenal adalah : Go To Hell With Your
Aids/persetan dengan bantuan-bantuanmu). Anti imperialisme inilah yang
disalahartikan sebagai dalam rangka menuju masyarakat sosialisme. [lihat
pidato Soekarno : Re-So-Pim (Revolusi Indonesia Socialism-Nation
Leadership) 17 times 17th August, Department of Information Republic of
Indonesia]. Bagaimanapun, nampaknya, imperialisme—Amerika—yang meraja
lela dianggap menutup kemungkinan tumbuhnya borjuasi bumiputera yang
tangguh.
Sedang untuk jenis kedua, lirik-lirik lagu yang disajikan dalam bentuk
penyampaian realitas sosial yang ada. Dalam hal ini termasuk
dipersoalkan makna dari kerja, produksi, sistem sosial. Meskipun kadang
kala juga tidak lepas dari jargon-jargon politik. Dalam konteks ini,
akan didapati lagu yang ditulis oleh orang yang berpaham marxis, sosial
demokrasi, maupun penganut ‘sosialisme ala soekarno’ (Marhaenisme). Lagu
“gending gendjer-gendjer” – secara ahistoris sering disalahartikan dan
dikaitkan dengan peristiwa pembunuhan para jendral dalam peristiwa G30S/
1965 – misalnya, lebih merupakan lagu yang berkisah tentang kehidupan
masyarakat Indonesia awal tahun 1950-an yang ditandai dengan kemiskinan
yang mengenaskan.
Gendjer adalah tanaman sejenis enceng gondok yang tumbuh liar diselokan
(rawa-rawa), dikonsomsi rakyat miskin sebagai lauk-pauk. Lagu “Gending
Gendjer-Gendjer” sendiri, diciptakan oleh Samsudin Proboharjono dalam
tahun 1953,-- merupakan lagu tentang potret kehidupan masyarakat
Banyuwangi (Jawa Timur), sehingga dilantunkan dalam lirik Banyuwangi –
hanya berpretensi menyampaikan kenyataan sosial kaum miskin yang
mengkonsumsi gendjer. Selengkapnya syair lagu “Gending Gendjer-Gendjer”
sebagai berikut :
Gendjer-gendjer neng ledokan pating keleler/ Gendjer-gendjer neng
ledokan pating keleler/ Emake thole teka-teka mbubuti gendjer/ Emake
thole teka-teka mbubuti gendjer/ Oleh satenong mungkur sedot sing
tolah-tolih/ Gendjer-gendjer saiki wis digawa mulih.
Gendjer-gendjer esuk-esuk digawa nang pasar/ Gendjer-gendjer esuk-esuk
digawa nang pasar/ didjejer-djejer diunting pada didasar/
dudjejer-djejer diunting pada didasar/ emake djebeng tuku gendjer wadahi
etas/ gendjer-gendjer saiki arep diolah.
Gendjer-gendjer mlebu kendil wedange umob/ Gendjer-gendjer mlebu
kendil wedange umob/ setengah mateng dientas digawe iwak/ setengah
mateng dientas digawe iwak/ sega sa piring sambel penjel ndok ngamben/
gendjer-gendjer dipangan musuhe sega.
Sedangkan lagu yang berusaha mengajak rakyat melakukan perubahan –
setelah diberi penjelasan arti kerja yang telah mereka lakukan adalah
“Krontjong Buruh-Tani”, karya Sjamsuri :
Dari pagi sampailah petang aku bekerja,
Memeras keringat, membanting tulang, sekuat tenaga, segala kerdja di
dunia ini tak tertjipta tanpa tenagaku, Namun upah kerdjaku tiada tjukup
‘tuk sekedar makan, kita buruh tidak akan hanya menjerah kepada nasib,
Bersatu dan berjuang untuk mentjapai kebahagian, Dini hari diwaktu
fadjar sebelum bertjahaja, Tak ku kenal lelah, bangun pergi aku turun ke
sawah, Betapa berat aku bergulat dalam lumpur pagi hingga petang, Namun
djerih pajahku hanya sedikit ku ikut mengenjam, kita tani haruslah
berani mengubah nasib sendiri, Bangkit serta berjuang untuk lenjapkan
ketidakadilan.
Lagu ini jelas mengangkat masalah kerja, arti kerja, dan bahwa upah yang
didapat kerja sangat tidak memadai (“namun upah kerdjaku tiada tjukup
‘tuk sekedar makan”, dan “Namun djerih pajahku hanja sedikit ku ikut
mengejam”). Lagu ini cenderung menyiratkan semangat anti kapitalisme.
Sehingga diakhir lagu dinyatakan sikap : “kita tani haruslah berani
mengubah nasib sendiri, bangkit serta berdjuang untuk lenjapkan
ketidakadilan”.
Berbagai arus yang berkecenderungan melawan penindasan dan penghisapan
kapitalisme – sebagaimana berlangsung selama kurun penjajahan – berusaha
mendorong perubahan masyarakat ke bentuk yang baru, sosialisme. Tidak
dapat dipungkiri Partai Komunis Indonesia (PKI) mengemban misi ini. PKI
dibentuk pada 23 Mei 1920 sebagai polarisasi dan kristalisasi dari arus
radikal Sarekat Islam, Vereeniging Van Spoor en Traam Personeel (VSTP),
dan Indesche Social Democratische Vereeniging (ISDV). Popularitas PKI
dalam mengangkat berbagai kesenjangan sosial, mendapat sambutan hangat
dari masyarakat disebabkan pengalaman pahit yang dialami selama
penghisapan kapitalisme kolonial yang berlangsung bertahun-tahun. Partai
ini bergiat dalam memotivasi kaum buruh untuk membebaskan dirinya dan
masyarakat luas dari ketidakadilan sosial yang dikonsolidasi dalam
struktur masyarakat kapitalis.
Disisi lain, Presiden Soekarno yang mencoba menjadi pusat dari berbagai
kekuatan sosial politik, telah lama – sejak tahun 1920-an – mengakomodir
kedalam tiga kekuatan utama yaitu agama-nasionalis-komunis (NASAKOM).
Atau dalam rumusan Soekarno tahun 1926 Pengkawinan Nasionalisme,
Marxisme dan Islam. Arus anti-imperialisme Amerika – yang sebetulnya
tidak berarti anti-kapitalisme, jika dilihat dari program-program
perekonomian yang diambil pemerintah waktu itu – membuat kecenderungan
semakin kekiri menemukan pendukung yang cukup kuat. Dalam kesenian,
Soekarno memberangus berbagai aktifitas yang mendukung imperialisme
Amerika seperti, membungkam dan memenjarakan kelompok Koes bersaudara
(Tony Koeswoyo, Yok Koeswoyo, Nomo Koeswoyo, dan Jan Mintaraga –
belakangan Jan, Vokalis, mengundurkan diri) di awal tahun 1960-an
disebabkan merekamempertahankan bentuk penampilan yang nge-Beatles (band
rock’nroll Inggris yang hijrah ke Amerika Serikat). Sehingga Soekarno
pun dalam posisi tidak menghalangi lagi derasnya arus budaya kiri yang
disampaikan ke masyarakat luas oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra),
maupun Harian Rakjat – salah satu organ resmi PKI.
Lagu-lagu yang lahir di bawah naungan ‘sosialisme ala soekarno’ antara
lain adalah “Madju Sukarelawan”, “Nasakom Bersatu”, “RE-SO-PIM”.
Kegarangan lirik “Madju Sukarelawan” (karya Sudharnoto) dapat ditengok
di bawah ini :
Bulatkan semangat tekad kita barisan sukarelawan Indonesia ke medan
tempur, siap bertempur setiap tantangan kita lawan pantang mundur, hey !
awas imperialisme durhaka landjutkanlah tjita kita kuat perkasa ini
dadaku, mana dadamu kamu menjerang kita ganjang djadi abu.
Ajolah kawan, buruh tani, pemuda dan angkatan kita madju melawan siap
senjata dan serbu ke kandang lawan, pastilah menang, pastilah menang,
pasti menang revolusi ’45.
Suatu kegarangan anti imperialisme dan tekad menghancurleburkannya,
ditanamkan di dada para pemuda Indonesia. Sedang kecenderungan kearah
sosialisme lebih tajam tertuang melalui lagu “RE_SO_PIM” karya Soebroto
Ki Atmojo :
Re-so-pim, re-so-pim, revolusi Agustus ’45. Re-so-pim, re-so-pim,
sosialisme ditangan negara. Kita tuntut pimpinan yang jujur. Rakyat
harus hidup adil makmur. Re-so-pim, re-so-pim, maju, maju, re-so-pim.
Kita tuntut murah sandang pangan minggir-minggir pimpinan yang curang
re-so-pim, re-so-pim, hidup, hidup re-so-pim.
Kecenderungan semakin ke kiri ini membuat PKI dengan mudah
memperkenalkan ke masyarakat lagu-lagu revolusi Rusia (Oktober 1917)
melalui Harian Rakjat (9 Nopember 1962) yang – setelah diterjemahkan –
berjudul “Saat Telah Tiba”. Sebuah lagu yang sarat dengan jargon politik
revolusioner khas komunis. Seperti, Penyebutan “Surya merah” dan
“Pandji merah” :
Kawan saat ini telah tiba/ Kita tjapai merdeka/ masa gelap telah
bubar/ surja merah bersinar/ Lihat barisan djutaan/ Madju tegap ke
depan/ dengan semangat menjala/ Menjerbu dunia kita / Kawan semua bersatu / senjum ! dan ajo madju/ Achir derita mendekat/ datang hari kiamat/
Tjampakkanlah penindasan/ Hiduplah kekuatan/ Pantjangkanlah pandji merah/ di dunia kaum pekerdja.
Jargon “merah” kembali digunakan. Dalam bahasa Indonesia kata “merah”
mempunyai makna khusus. Misalnya, pada penyebutan bendera kebangsaan
“merah-putih”. “Merah” dalam konteks ini diidentikkan dengan “berani”
yaitu pengorbanan dengan “darah”. Artinya siap berkorban sampai titik
darah penghabisan untuk menghapuskan penindasan dan penghisapan
kapitalisme.
Agaknya, kata ’merah’ dalam konteks komunis, dan ‘merah’ di benak
rakyat Indonesia memiliki kemiripan terutama dalam hal perwujudan sikap
patriotik : Perjuangan tanpa menyerah. Dan yang dibutuhkan PKI dengan
jargon “merah”, nampaknya, sebagai upaya pengembalian sikap politik
patriotik masyarakat untuk memiliki semangat juang – sebuah prasyarat
dan mengkonsolidasi suasana revolusioner.
Dengan adanya lagu-lagu di atas, mobilisasi massa memang terjadi
“Bahaya” semakin ke kiri inilah yang nampaknya mendorong negara “polisi
dunia” Amerika Serikat bermain untuk mengubah arah pembangunan Indonesia
menjadi layak bagi penanaman modal asing. Terjadinya peristiwa
pembunuhan yang bernama gerakan 30 September 1965. Dalam dokumen CIA
(Centre Intelligent of Amerika) peristiwa ini disebut sebagai “The
Djakarta Operation”. Sebuah revolusi peng-kanan-an Indonesia.
Sejak peristiwa tersebut kekuasaan dilandaskan pada kekuatan rejim
militer yang sudah pasti pro-Barat, pro-Kapitalisme – dan tentu saja –
pro-Imperialisme. Konsekuensi dari perubahan ini adalah dilakukan
pemberangusan segala aktivitas politik masyarakat. Terjadi pula
pemberangusan penciptaan, peredaran, pembudayaan, dan pemasyarakatan
lagu-lagu politik. Koes Bersaudara tampilkembali dalam Koes Plus
(terjadi pergantian personel drumer dari Nono Koeswoyo ke Mury).
Kelompok ini dilepaskan untuk membawa lagu-lagu “kacang-goreng” tentang
remaja dan cinta-cengeng. Di bawah kebijakan depolitisasi ini mereka
merajai blantika musik. Arus baru dalam musik ini berhasil
menina-bobokan masyarakat dari persoalan-persoalan politik.
Sumber : http://indomarxist.tripod.com/00000043.htm