Salamuddin Daeng
Peneliti Institute for Global Justice- IGJ / jubir petisi 28
Melihat kondisi karut marut ekonomi Indonesia saat ini, dikalangan
rakyat berkembang pertanyaan apakah negara dalam arti sesungguhnya telah
merdeka atau tidak ?. Untuk menjawab teka teki ini maka cara sederhana
adalah dengan mengingat kembali kolonialisme baik teori dan prakteknya.
Kolonialisme
adalah pengembangan kekuasaan sebuah negara atas wilayah dan manusia di
luar batas negaranya. Kegiatan ini dimulai dengan konsolidasi dan
penguasaan teritorial, diikuti dengan membentuk pemerintahan dan UU dan
ditindaklanjuti dengan ekploitasi terhadap sumber daya alam dan manusia
sekaligus secara ekstrim. Diatas definisi inilah kita akan menjawab
apakah Indonesia telah merdeka atau belum, dan cara mendirikan kembali
Indonesia merdeka.
Bagaimana
sesungguhnya kekuasaan pihak asing terhadap territorial Indonesia? Mari
kita ambil salah-satu contoh penguasaan teritorial sebuah perusahaan
tambang terkaya di dunia yaitu PT Newmont Nusa Tenggara (PT. NNT) di
salah satu daerah di Indonesia. Dalam dokumen Kontrak Karya (KK) antara
PT NNT dengan pemerintah Indonesia tahun 1986 disebutkan bahwa luas
kontrak karya PT NNT adalah 1,127 juta hektar yang meliputi wilayah
Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Sementara luas wilayah Pulau Sumbawa
adalah 1,438 juta hektar dan luas Pulau Lombok seluas 543 ribu hektar.
Ini berarti bahwa luas kontrak karya Newmont setara dengan 57 % luas
daratan NTB.
Di Indonesia luas
konsesi yang diberikan negara kepada modal besar dalam bentuk kontrak
karya pertambangan, kontrak production sharing migas, kontrak kerja
batubara, HGU perkebunan, HPH kehutanan mencapai 175 juta hektar. Jumlah
tersebut telah setara dengan 93 % luas daratan Indonesia. Sebagian
besar konsesi dikuasai oleh modal asing. Kekuasaan modal besar dan
negara-negara maju atas tanah di Indonesia lebih luas dibandingkan apa
yang terjadi sepanjang masa Kolonial Belanda.
Demikian halnya
dengan Investasi luar negeri yang masuk ke Indonesia saat ini tampaknya
mengambil bentuk investasi kolonial. Investasi semacam ini dikerahkan
oleh negara-negara maju dalam upaya pencarian sumber daya alam atau
bahan mentah. Sangat jarang bahkan tidak pernah investasi luar negeri
dilakukan untuk membangun industri. Investasi luar negeri menjadi bagian
dari ekonomi negara asal modal. Hal ini menjadi ciri utama investasi
AS, Jepang dan negara-negara Eropa hingga saat ini.
Perhatikan
sebagian besar kegiatan eksploitasi migas dikuasasi modal asing, 85
persen gas diekspor. Seluruh kekayaan mineral dikontrol asing, 75 persen
batubara diekspor, sebagian besar hasil perkebunan dialokasikan untuk
pasar ekspor. Padahal didalam negeri terjadi kelangkaan sumber-sumber
primer yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan nasional dan keperluan
rakyat.
Wajar kemudian
tidak ada keterkaitan antara investasi luar negeri dengan kesejahteraan
rakyat. Pangalaman sejarah investasi luar negeri sector swasta dapat
kita lihat dalam periode sejak tahun 1860 -1970. Pada masa itu, modal
swasta luar negeri mendapatkan tempat yang penting dalam kehidupan
ekonomi Indonesia. Modal luar negeri ini terutama ditanamkan dalam
perusahaan yang bekerja untuk ekspor dan juga dalam beberapa perusahaan
yang berhubungan dengan ekspor seperti bank-bank, jalan-jalan, kereta
api, pelayaran besar interinsulair, dan perusahaan gas listrik.
Berhubungan dengan banyaknya penanaman modal luar negeri maka Indonesia
termasuk ke dalam negara-negara debitur terbesar.
Dalam tahun 1938
Indonesia mengalami keadaan yang sama dengan yang dialami India, dan
negara-negara besar Asia lainnya, serta Australia dan Argentina. Modal
luar negeri yang ditanam di Indonesia lebih besar daripada Tiongkok,
negara yang jauh lebih besar dan mempunyai penduduk lebih banyak.
Besarnya modal luar negeri yang ditanam di Indonesia pada masa sebelum
perang, ditaksir mencapai angka 5,2 milliard gulden dengan rincian 4
milliar ditanamkan pada perusahaan partikulir dan 1,2 milliar gulden
terdiri dari utang pemerintah. Dimasa ini perhitungan investasi luar
negeri dan utang luar negeri digabungkan. (Prajudi, 1970 : 142).
Jumlah investasi
luar negeri pada masa sekarang jauh lebih besar, tidak hanya
rempah-rempah, perkebunan, akan tetapi meliputi pertambangan, kehutanan
dan perikanan. Tiga sector terakhir tidak banyak dikerjakan di masa
kolonial Belanda. Selain itu modal luar negeri tidak hanya masuk dalam
bentuk investasi, akan tetapi juga melalui utang luar negeri yang
jumlahnya juga sangat besar. Saat ini posisi utang luar negeri
pemerintah dan swasta sampai dengan akhir tahun 2009 sebesar US$ 172.871
juta (Bank Indonesia, 2010).
Namun apa yang
dperoleh bangsa ini dari modal luar negeri ?. Jumlah yang harus
dibayarkan ternyata jauh lebih besar dibandingkan dengan manfaat yang
diperoleh. Untuk membayar bunga utang dan cicilan pokok utang luar
negeri pemerintah dan swasta mencapai US$ 41.380 juta pertahun. Ditambah
dengan cicilan pokok utang dalam negeri pemerintah Rp 39.210 miliar
(2008) dan bunga utang dalam negeri pemerintah sebesar Rp 70.857 miliar.
Jumlah keseluruhan pembayaran hutang dan cicilan hutang pokok
pemerintah dan swasta sebesar Rp. 482.487 miliar.
Bandingkan dengan
kenaikan PDB berdasarkan harga konstan dalam tahun 2008-2009 yang
nilainya hanya sebesar Rp 94.872 miliar. Peningkatan PDB yang merupakan
hasil dari seluruh aktifitas ekonomi negara ini bahkan tidak cukup untuk
membayar bunga hutang dan cicilan pokok.
Sementara itu,
utang luar negeri Indonesia tidak hanya meninggalkan beban dari sisi
nominal utang, akan tetapi implikasi ekonomi politiknya yang besar.
Utang luar negeri umumnya dikerahkan untuk mengubah kebijakan ekonomi
politik Indonesia agar menguntungkan korporasi multinasional dan
negara-negara maju. Sebagai contoh penting adalah Undang Undang No. 25
Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM). UU ini merupakan bentuk
pelanggaran terhadap konstitusi UUD 1945 dikarenakan asas perlakuan yang
sama yakni most favoured nation (MFN) dan National treatment yang
merupakan preambule WTO dipaksa masuk dalam UU ini secara subversif.
Seluruh UU
Indonesia yang berkaitan dengan keuangan, investasi, perdagangan, dan
bahkan perlindungan sosial yang lahir sejak era reformasi sepenuhnya
dibiayai oleh lembaga keuangan multilateral IMF, WB dan ADB. Ini berati
bahwa penyelenggaran negara dan pemerintahan sepenuhnya dibawah kontrol
asing dan menggunakan cara yang sama dengan kolonialisme.
Selain itu,
subversi terhadap konstitusi tidak hanya dilakukan dengan cara
meniru/mengadovsi prinsip yang disepakati dalam perjanjian international
akan tetapi juga melalui proses ratifikasi. Sebagai contoh
diratifikasinya ASEAN CHARTER melalui UU 38 Tahun 2008 tentang
pengesahan Piagam ASEAN. Dalam pasal 1 ayat 5 menyatakan bahwa tujuan
ASEAN adalah “menciptakan pasar tunggal dan basis produksi yang stabil,
makmur, sangat kompetitif, dan terintegrasi secara ekonomis melalui
fasilitasi yang efektif untuk perdagangan dan investasi, yang di
dalamnya terdapat arus lalu-lintas barang, jasa-jasa dan investasi yang
bebas; terfasilitasinya pergerakan pelaku usaha, pekerja profesional,
pekerja berbakat dan buruh dan arus modal yang bebas. Piagam berisikan
dasar-dasar bagi pembentukan kawasan perdagangan bebas internal ASEAN
dan dasar bagi perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agreement)
antara ASEAN dengan negara kawasan lainnya. Hak ekslusif kepada ASEAN
dalam menyepakati perjanjian iternational mengkudeta konstitusi,
parlemen dan hak demokrasi rakyat.
Melalui kedua cara
itulah konstitusi dasar Pancasila dan UUD 1945 yang menjadi pondamen
kehidupan berbangsa bernegara dihancurleburkan. Asas-asasnya yang
membentuk hubungan sosial, ekonomi, politik bangsa indonesia digantikan
dengan paham-paham asing. Kekeluargaan digantikan dengan individualisme,
kerjasama diubah menjadi kompetisi/persaingan yang saling mematikan,
musyawarah mufakat diubah menjadi demokrasi mayoritas berkuasa atas
minoritas.
Benar apa yang
disampaikan presiden SBY dalam Pidato 17 Agustus 2010 yang mengatakan
“Dalam sepuluh tahun pertama reformasi itu, kita telah melangkah jauh
dalam melakukan transisi demokrasi, kita telah membongkar dan membangun,
kita telah melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi terhadap tatanan
dasar dalam kehidupan politik, sosial, hukum, dan ekonomi”.
Sebuah pengakuan
terbuka dari Presiden Republik Indonesia dalam menghilangkan apa yang
disebut SBY sebagai... de-bottlenecking atas peraturan perundangan yang
menghambat imperialisme dan tidak mengejutkan bila ada yang mengatakan
bahwa “ini sesungguhnya adalah revolusi diam-diam, atau the quiet
revolution..., dan segala upaya percepatan, debottlenecking ini akan
sia-sia kalau kita tidak melakukan perubahan yang paling hakiki,
perubahan cara-pandang”. Sebuah cara pandang baru tengah ditularkan
yaitu kapitalisme neoliberalisme.
Penjelasan di atas
menunjukkan bahwa negara Indonesia memang belum merdeka dalam
pengertian yang sepenuhnya. Problem utamanya adalah tidak hanya karena
semakin ganasnya kolonialisme dan imperialism (Nekolom) akan tetapi
penyelewengan elite kekuasaan terhadap amanat penderitaan rakyat.
Kemerdekaan yang
sesungguhnya mensyaratkan kita untuk mencabut kolonialisme sampai ke
akar-akarnya. Itu berarti segala bentuk investasi kolonial, utang luar
negeri yang imperialistik, adopsi dan ratifikasi peraturan dan hukum
kaum imperialis harus dihentikan.
Tegasnya
kemerdekaan itu adalah pelaksanaan atas mandate Sumpah Pemuda, cita-cita
Proklamasi Kemerdekaan, asas Pancasila, dan tujuan bernegara
sebagaimana yang disebutkan dalam UUD 1945. Hanya dengan jalan demikian
maka kita bangsa Indonesia benar–benar memiliki jembatan emas untuk
mencapai kesejahteraan hidup seluruh rakyat, bukan jembatan lapuk
warisan Kolonial.
sumber : http://petisi28.blogspot.com/2010/08/mencabut-akar-kolonialisme.html