“Inggris kita linggis! Amerika kita setrika!”, atau “Go to hell with your aid” yang ditujukan kepada Amerika.
“Malaysia kita ganyang. Hajar cecunguk Malayan itu! Pukul dan sikat
jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak oleh Malaysian keparat
itu”, yang ini saat Indonesia berkonfrontasi dengan di negara boneka
bernama Malaysia.
Bukan hanya itu. Organisasi dunia yang bernama Perserikatan Bangsa
Bangsa (PBB) pun pernah dilawan. Tanggal 20 Januari 1965, Bung Karno
menarik Indonesia dari keanggotaan PBB. Ini karena ketidak-becusan PBB
dalam menangani persoalan anggota-anggotanya, termasuk dalam kaitan
konflik Indonesia – Malaysia. Ada enam alasan yang tak bisa dibantah
siapa pun, termasuk Sekjen PBB sendiri, yang menjadi dasar Indonesia
menarik diri dari keanggotaan PBB.
Pertama, soal kedudukan PBB di Amerika Serikat. Bung Karno
mengkritik, dalam suasana perang dingin Amerika Serikat dan Uni Sovyet
lengkap dengan perang urat syaraf yang terjadi, maka tidak sepatutnya
markas PBB justru berada di salah satu negara pelaku perang dingin
tersebut. Bung Karno mengusulkan agar PBB bermarkas di Jenewa, atau di
Asia, Afrika, atau daerah netral lain di luar blok Amerika dan Sovyet.
Kedua, PBB yang lahir pasca perang dunia kedua, dimaksudkan untuk
bisa menyelesaikan pertikaian antarnegara secara cepat dan menentukan.
Akan tetapi yang terjadi justru PBB selalu tegang dan lamban dalam
menyikapi konflik antar negara. Indonesia mengalami dua kali, yakni saat
pembebasan Irian Barat, dan Malaysia. Dalam kedua perkara itu, PBB
tidak membawa penyelesaian, kecuali hanya menjadi medan perdebatan.
Selain itu, pasca perang dunia II, banyak negara baru, yang baru saja
terbebas dari penderitaan penjajahan, tetapi faktanya dalam
piagam-piagam yang dilahirkan maupun dalam preambule-nya, tidak pernah
menyebut perkataan kolonialisme. Singkatnya, PBB tidak menempatkan
negara-negara yang baru merdeka secara proporsional.
Ketiga, Organisasi dan keanggotaan Dewan Keamanan mencerminkan
peta ekonomi, militer dan kekuatan tahun 1945, tidak mencerminkan
bangkitnya negara-negara sosialis serta munculnya perkembangan cepat
kemerdekaan negara-negara di Asia dan Afrika. Mereka tidak diakomodir
karena hak veto hanya milik Amerika, Inggris, Rusia, Perancis, dan
Taiwan. Kondisi yang tidak aktual lagi, tetapi tidak ada satu orang pun
yang berusaha bergerak mengubahnya.
Keempat, soal sekretariat yang selalu dipegang kepala staf
berkebangsaan Amerika. Tidak heran jika hasil kebijakannya banyak
mengakomodasi kepentingan Barat, setidaknya menggunakan sistem Barat.
Bung Karno tidak dapat menunjung tinggi sistem itu dengan dasar,
“Imperialisme dan kolonialisme adalah anak kandung dari sistem Negara
Barat. Seperti halnya mayoritas anggota PBB, aku benci imperialisme dan
aku jijik pada kolonialisme.”
Kelima, Bung Karno menganggap PBB keblinger dengan menolak
perwakilan Cina, sementara di Dewan Keamanan duduk Taiwan yang tidak
diakui oleh Indonesia. Di mata Bung Karno, “Dengan mengesampingkan
bangsa yang besar, bangsa yang agung dan kuat dalam arti jumlah
penduduk, kebudayaan, kemampuan, peninggalan kebudayaan kuno, suatu
bangsa yang penuh kekuatan dan daya-ekonomi, dengan mengesampingkan
bangsa itu, maka PBB sangat melemahkan kekuatan dan kemampuannya untuk
berunding justru karena ia menolak keanggotaan bangsa yang terbesar di
dunia.”
Keenam, tidak adanya pembagian yang adil di antara personal PBB
dalam lembaga-lembaganya. Bekas ketua UNICEF adalah seorang Amerika.
Ketua Dana Khusus adalah Amerika. Badan Bantuan Teknik PBB diketuai
orang Inggris. Bahkan dalam persengketaan Asia seperti halnya
pembentukan Malaysia, maka plebisit yang gagal yang diselenggarakan PBB,
diketuai orang Amerika bernama Michelmore.
Bagi sebagian kepala negara, sikap keluar dari PBB dianggap sikap nekad.
Bung Karno tidak hanya kelua dari PBB. Lebih dari itu, ia membentuk
Konferensi Kekuatan Baru (Conference of New Emerging Forces/ Conefo)
sebagai alternatif persatuan bangsa-bangsa selain PBB. Konferensi ini
sedianya digelar akhir tahun 1966. Langkah tegas dan berani Sukarno
langsung mendapat dukungan banyak negara, khususnya di Asia, Afrika, dan
Amerika Selatan. Bahkan sebagian Eropa juga mendukung.
Sebagai tandingan Olimpiade, Bung Karno bahkan menyelenggarakan Ganefo
(Games of the New Emerging Forces) yang diselenggarakan di Senayan,
Jakarta pada 10 – 22 November 1963. Pesta olahraga ini diikuti oleh
2.250 atlet dari 48 negara di Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika Selatan,
serta diliput sekitar 500 wartawan asing.
Bung Karno dengan Conefo dan Ganefo, sudah menunjukkan kepada dunia,
bahwa organisasi bangsa-bangsa tidak mesti harus satu, dan hanya PBB.
Bung Karno sudah mengeluarkan terobosan itu. Sayang, konspirasi
internasional (Barat) yang didukung segelintir pengkhianat dalam negeri
(seperti Angkatan ’66, sejumlah perwira TNI-AD, serta segelintir
cendekiawan pro Barat, dan beberapa orang keblinger), berhasil
merekayasa tumbangnya Bung Karno.
Wallahu a’lam. (roso daras)
Sumber : http://rosodaras.wordpress.com