Salamudin Daeng
Peneliti Institute Global Justice
Setiap bangsa
membutuhkan waktu yang lama untuk dapat berdiri kokoh, AS membutuhkan
waktu sedikitnya 70 tahun untuk menkonsolidasikan dirinya menjadi
imperialis yang kuat. China yang selama ber abad-abad jatuh bangun dalam
perang saudara, pemberontakan dan agresi bangsa lain, yang
menjadikannya tumbuh sebagai bangsa yang merdeka dan besar besar seperti
sekarang ini.
Bangsa Indonesia
juga demikian, proses membangun bangsa ini telah lebih dari 100 tahun.
Boedi Utomo1908, Sumpah Pemuda1928, Proklamasi kemerdekaan 1945, kudeta
kontroversial 1965, penggulingan otoritarianisme 1998, adalah serangkain
peristiwa penting yang menetukan jalannya sejarah Republik Indonesia
menuju bangsa yang besar.
Pengalaman
Indonesia selama 350 tahun dalam tekanan kolonialisme, tentu memberi
pelajaran yang berharga. Proses menuju kemerdekaan yang memakan korban
jutaan jiwa adalah pengalaman yang tak mungkin terlupakan. Proses ini
tidak akan berhenti, karena kemerdekaan adalah jembatan emas. Tidak
peduli meskipun akan memakan banyak korban lagi.
Tidak ada yang
lebih besar dari tugas meraih kemerdekaan, tidak ada pekerjaan yang
lebih sulit dari membebaskan diri dari tekanan imperialisme, yang
menjadi hukum sejarah manusia.Tidak semua orang suka dengan jalan
sejarah yang sulit, tidak semua orang mau terlibat dalam perlawanan yang
melelahkan.
Sebagian besar
orang ingin damai, hidup tenang, tanpa konflik dan pertikaian, baik
secara internal maupun terhadap pihak asing. Namun tidaklah demikian
fakta sejarah. Suka atau tidak suka hidup adalah persaingan dan
pertarungan. Jika tidak menyerang, maka patilah akan diserang. Jika
tidak melawan pastilah akan tenggelam dalam lumpur pekat penindasan
selama-lamanya.
Untuk dapat
bertahan suatu bangsa harus membangun benteng yang kokoh, memperkuat
palsafah hidup, mengkonsolidasikan segenap kekuatan internal dan
unifikasi teritorialnya, membentuk negara diatas konstitusinya yang
tangguh. Dengan cara demikian ia akan selamat gejolak dari dalam dan
tekanan apapun yang datang dari luar.
Pengalaman
bangsa-bangsa di Asia Tengah dapat menjadi contoh penting, betapa
sulitnya mereka mempertahankan eksistensinya dari invasi imperialistik
kapitalisme. Negara-negara Arab berada dibawah tekanan yang hebat hingga
hari ini. Palestina terancam lenyap sebagai sebuah bangsa, Irak telah
dibubarkan dengan paksa melalui agresi sekutu, Iran hendak dilenyapkan
melalui propaganda hipokrit AS.
Demikian pula
pengalam bangsa-bangsa di Afrika yang dimusanakan perlahan-lahan oleh
perang saidara, penyakit dan kelaparan yang kesemuanya merupakan tanda
sejarah bahwa untuk bertahan hidup maka suatu bangsa harus memperkuat
diri dalam menghadapi ganasnya gelombang pertarungan. Jika tidak maka ia
akan musnah.
Soekarno
menggambarkan bahwa ganasnya gelombang sejarah adalah medan pertarungan
menjadi bangsa yang besar. Ia mengatakan bahwa bangsa yang besar
dikahirkan oleh dinamika politik yang hebat demikian pula sebaliknya
bangsa yang kerdil dilahirkan oleh situasi yang serba nyaman dan adem
ayem. Bung Karno mengibaratkan situsi adem ayem ini hanya ada di
negerinya “bathara guru” suatu tempat yang hanya ada dalam imajinasi
para pemimpi.
Pendiri bangsa
menyadari benar bahwa masalah Indonesia tidak akan berhenti setelah
proklamasi kemerdekaan. Imperialisme akan kembali dan telah kembali
dengan segala macam cara untuk menguasasi negeri ini. Itulah mengapa
berkali-kali dalam sebagian besar pidatonya Bung Karno mengatakan
wasapada nekolim..sekali lagi waspada nekolim. Itulah mengapa api harus
dinyalakan dan semangat perlawanan harus tetap dikobarkan.
Jangan Sampai Bubar
“Media massa yang
menggambarkan bahwa seoala-olah negara ini mau bubar”. demikian keluhan
SBY menanggapi pemberitaan berbagi media massa dalam beberapa waktu
terakhir.
Apa yang menjadi
kekuatiran media massa nasional patut di apresiasi, karena memang
demikianlah kondisi obyektifnya. Meskipun oleh pemerintahan SBY keadaan
tersebut tidak terlihat dikarenakan berbagai keterbatasan
pengetahuannya. Itu juga wajar karena SBY juga manusia.
Namun perlu
dijelasakn lebih lanjut oleh media massa bahwa negara kesutuan republik
Indonesia terancam lenyap eksistensinya secara politik ekonomi dan
kebudayaan. Bangsa ini semakin kehilangan supremasinya mengatur dirinya
sendiri, kehilangan hak atas kekayaannnya sendiri, dan semakin jauh dari
jati dirinya dan terjebak meniru-niru adapt bangsa lain secara membabi
buta. Indonesia terancam bubar dalam usianya yang relative muda, 65
tahun.
Seluruh UU dan
kebijakan yang lahir di negeri ini dibuat oleh pihak asing. Proses ini
berlangsung melalui dua cara yaitu ratifikasi terhadap hasil perundingan
dan perjanjian internasional dan diadipsinya berbagai hasil perjanjian
tersebut dalam hukum positif nasional secara subversive.
Tanah, kekayaan
alam, telah sepenuhnya dibawah control modal asing, lebih dari 175 juta
hektar lahan dikuasai oleh penanaman modal besar, dan sebagian besar
adalah modal asing. Sebanyak 85 persen kekayaan migas dikuasai asing, 75
persen kekayaan batubara dan perkebunan dikuasasi asing, 100 persen
hasil tambang dikontrol modal asing, 60-70 persen kekayaan perbankkan
dikuasasi asing. Apa yang didapat oleh bangsa Indonesia hanyalah beban
utang yang mencapai 1600 trilun dan kerusakan lingkungan yang secara
perlahan-lahan memusnahkan kehidupan di negeri ini.
Diatas dominasi
dan ekploitasi bangsa lain, elite politik Indonesia semaki kehilangan
kepercayaan diri alias minder. Mereka terjebak dalam pragmatisme, tidak
dapat mengeli masalahnya dan menemukan orientasi kebangsaannya. Seperti
orang mabuk limbung dalam badai globalisasi.
Meski kondisi
bangsa telah sampai pada tingkat yang menghawatirkan, seluruh anggota
parlemen dan mereka yang ada dalam birokrasi kekuasaan saat ini jika
ditantang melakukan tidakan-tindakan radikal dalam menyelamatkan
Indonesia dari ancaman bubar, selalu mengeluarkanstatemen keputusasaan.
Tidak tahu, tidak sanggup, kalah. Lalu tanggung jawab ini mau diserahkan
pada siapa? Dan mengapa mereka masih disana dan tidak mundur?
Pemuda Ambil Alih
Satu hal yang
sangat terasa dalam seluruh proses sejarah yang sebagian dilalui dengan
berdarah-darah adalah semangat untuk mendirikan Indonesia yang bebas
dari segala belenggu kolonialisme dan imperialisme.
Semangat itu yang
tetap terpatri dalam jiwa pemuda-pemuda Indonesia yang selalu memaikan
peran penting dalam seluruh proses medirikan negara ini.
Mengapa pemuda?
Mengapa bukan kaum bangsawan atau klas menengah seperti Eropa, bukan
klas pekerja seperti di Rusia? atau laskar kaum tani seperti dalam
pengalaman sejarah bangkitnya China..?
Para pemuda
Indonesia telah lahir sebagai suatu entitas sendiri sejak awalnya.
Mereka adalah tentara dalam kekeluargaan yang merupakan struktur
tertendah dalam sistem sosial masyarakat Indonesia. Keluarga inilah yang
selalu berhadapan dengan tekanan, penindasan imperialisme,
neoliberalisme dan otortarianisme. Dari keluargaan inilah lahir pemuda,
yang setia menjaga keluarga dan negaranya dari segala ancaman
penindasan.
Beban sejarah
pemuda berubah dalam setiap jamannya. Tidak berkurang namun terus
bertambah dari waktu ke waktu. Tugas mendirikan Indonesia merdeka diatas
tiga pilar utama, berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan
berkerpibadian secara kebudayaan, adalah tugas terberat saat ini. Tugas
ini tentu lebih berat dari apa yang pernah diemban oleh
angkatan-angkatan sebelumnya. Mengapa demikian? Pemuda tidak hanya
berhadapan dengan ganasnya nekolim tapi sekaligus busuknya politik
internal.
Namun demikianlah
adanya, seperti itulah aturan sejarah. Tugas pemuda hanyalah mengukuti
jalannya sejarah. Kerana Indonesia yang merdeka tidaklah dididikan untuk
satu hari lamanya atau untuk sewindu lamanya. Indonesia merdeka
didirikan untuk selama-lamanya dan hanya pemuda Indonesia yang dapat
mengemban tugas ini..!.
Sumber : http://petisi28.blogspot.com/2010/08/mendirikan-indonesia-merdeka.html