10 November 1963, tidak seperti hari-hari biasanya, situasi di Ibukota
Jakarta terlihat sangat berbeda; semarak dan penuh kemeriahan. Di
sana-sini, terutama di sekitar kawasan Gelora Bung Karno, dekorasi warna
merah-putih membawa pesan “patriotik” acara ini. Rakyat pun tidak
tinggal diam, dan dengan begitu antusiasnya membanjiri sekitar lokasi.
Inilah sedikit suasana menjelang pembukaan perhelatan Games of New
Emerging Forces (Ganefo).
Ganefo, yang memiliki semboyan Onward! No Retreat (Maju Terus! Pantang Mundur), berlangsung 10 sampai 22 Nopember 1963. Diikuti 2.200 atlit dari 48 (versi lain menyebutkan, ada 51 negara) negara Asia, Afrika, Amerika Latin, dan Eropa (Timur). Karena besarnya jumlah kepesertaan dan cabang olahraga yang dipertandingkan, maka “Ganefo” pantas disebut Olympiade tandingan.
Sebelum mengulas jauh soal Ganefo ini, kita sebaiknya mengupas sedikit mengenai konteks historis yang melingkupinya, dan hubungannya dengan perjuangan nasional bangsa Indonesia itu sendiri. Pada tahun 1961, Bung Karno menelorkan konsepsinya dalam memandang dunia, yaitu soal Nefo dan Oldefo, dan mempertentangkannya sebagai kontradiksi yang tak-terhindarkan (terdamaikan). Nefo-The new emerging Forces—mewakili kekuatan baru yang sedang tumbuh, yaitu Negara-negara Asia, Afrika, Amerika Latin yang berusaha bebas dari neo-kolonialisme dan imperialisme serta berusaha membangun tatanan dunia baru tanpa exploitation l,homme par I’homme, sementara Oldefo—The Old Esthablished Forces—mewakili negeri-negeri imperialis dan kekuatan lama yang semakin dekaden.
Setelah era perjuangan fisik untuk pembebasan nasional, Soekarno pada tahun 1957, disebut juga tahun penentuan, telah menandaskan bahwa nation building memerlukan revolusi mental. Segera setelah itu, Bung Karno telah berkeyakinan bahwa, selain olahraga sebagai alat pembentuk jasmani, olahraga adalah alat pembangun mental dan rohani yang efektif. Dan, karenanya, olahraga dapat dijadikan salah satu alat untuk membangun bangsa dan karakternya (nation and character building).
Selain dimaterialkan dalam bentuk kurikulum di sekolah-sekolah dan menggencarkan kegiatan olahraga di kalangan rakyat, Bung Karno juga berusaha menjadikan ajang kejuaraan olahraga untuk menunjukkan nama bangsa Indonesia di dunia internasional. “Buat apa toh sebetulnya kita ikut-ikutan Asian Games? Kita harus mengangkat kita punya nama. Nama kita yang tiga setengah abad tenggelam dalam kegelapan,” demikian dikatakan Bung Karno.
Untuk itu, setelah mengalahkan Pakistan dalam pemungutan suara, Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggaraan Asian Games ke-IV. Segera setelah mendapat kepastian menjadi tuan rumah Asian Games, Bung Karno berupaya melobby Soviet untuk memperoleh bantuan dalam pembangunan sejumlah proyek olahraga. Meski Soviet kurang nyaman dengan kedekatan politik internasional Indonesia dengan Tiongkok, namun negeri sosialis paling pertama di dunia ini tetap bersedia memberi bantuan sebesar 10,5 juta dollar AS, yang, menurut Maulwi Saelan, salah satu ajudan Presiden Bung Karno pada saat itu, dibayar oleh Indonesia dengan karet alam dalam tempo dua tahun.
Usaha Bung Karno tidak sia-sia. Indonesia berhasil membangun kompleks olahraga, dimana di dalamnya terdapat stadion utama yang memiliki kapasitas 100.000 penonton (sebelum diciutkan menjadi 80.000 pada tahun 2007), dan menggunakan arsitektur temu gelang. Istana Olahraga (Istora) selesai dibangun pada 21 Mei 1961, Stadion Renang, Stadion Madya, dan dan Stadion Tenis (Desember 1961), Gedung Basket (Juni 1962), serta Stadion Utama (21 Juli 1962). Kompleks stadion olahraga dibangun selama 2 1/2 tahun, siang dan malam oleh 14 insinyur Indonesia, 12.000 pekerja sipil dan militer bergantian dalam 3 shift.
Selain berhasil membangun kompleks olahraga, Indonesia juga berhasil membangun Hotel Indonesia (HI), memperluas ruas jalan Thamrin, Jalan jend.Sudirman, jalan Grogol (sekarang, Jalan S. Parman), dan pembangunan jembatan Semanggi yang didesain oleh Ir. Sutami.
Di ajang Asian Games itu, Indonesia berhasil menunjukkan prestasi yang membanggakan, yakni menempati urutan kedua perolehan medali setelah Jepang. Sarengat, pelari terbaik Indonesia saat itu, berhasil menjadi pelari tercepat dan memecahkan rekor Asia.
Saat itu, karena sikap keras Indonesia menentang kepesertaan Israel dan Taiwan di Asian Games, maka komite Olympiade Internasional (IOC) mencabut sementara keanggotaan Indonesia dalam organisasi tersebut. Menanggapi keputusan sepihak IOC tersebut, Bung Karno menegaskan bahwa Indonesia keluar dari IOC, dan menganggap organisasi tersebut sebagai perpanjangan tangan dari kepentingan neo-kolonialisme dan imperialism; dalam hal ini, Negara-negara Oldefo.
Sambil menegaskan perlunya kelanjutan semangat Asia-Afrika di Bandung tahun 1955 dan terus memperkuat konsepsinya mengenai Nefo, maka Bung Karno telah menegaskan pentingnya menciptakan asosiasi olahraga yang dibasiskan kepada Nefo. Untuk itu, melalui menteri Olahraga, Maladi, 12 negara telah diundang untuk menghadiri konferensi persiapan pelaksanaan Ganefo di Jakarta, diantarnya RRT, USSR, Pakistan, Kamboja, Irak, Vietnam utara, dan Mali.
Di dala forum itu, Indonesia telah menggaris-bawahi arti penting melawan olimpiade internasional, yang sejatinya adalah alat imperialisme. “Mereka mengatakan bahwa olahraga harus terpisah dari politik. Tapi, pada kenyataannya, mereka hanya beranggotakan Negara non-komunis, yaitu Negara-negara yang tidak mau melawan neo-kolonialisme dan imperialism…Indonesia mengajukan secara jujur, bahwa olahraga adalah sesuatu yang selalu berhubungan dengan politik. Indonesia mengajukan usulan untuk menggabungkan olahraga dan politik, dan melaksanakan sekarang Games of New Emerging Forces –Ganefor…melawan Oldefo,” demikian disampaikan delegasi Indonesia.
Demikianlah, setelah melalui persiapan dan perjuangan berat, Ganefo berhasil dilaksanakan di Jakarta, dari 10 sampai 22 Nopember 1963, yang menghadirkan 51 bendera nasional (mewakili Negara atau kekuatan progressif di Negara-negara tertentu). Prestasi Indonesia pun cukup membanggakan di ajang Ganefo ini, yaitu menempati urutan ketiga, setelah RRT dan USSR, dengan perolehan 21 emas, 25 perak, dan 35 perunggu.
Namun, berbeda dengan Olimpiade internasional yang didasarkan pada kompetisi murni untuk mencari juara, ganefo justru dibasiskan pada olahraga untuk memperkuat persaudaraan dan solidaritas. Sebelum Ganefo dibuka, Bung Karno mengundang kontingen Indonesia ke istana Negara, dimana ia menegaskan bahwa, tugas atlet Indonesia bukan hanya menunjukkan kemampuan mereka di bidang olahraga, tetapi juga membina persahabatan dengan atlet/peserta dari Negara lain.
Sayang sekali, Genefo kedua, yang dijadwalkan di Mesir pada tahun 1967,
mengalami kegagalan karena persoalan politik, dan di Indonesia telah
terjadi perubahan politik. Dengan demikian, ketika anda membuka lembaran
sejarah dunia mengenai olahraga, maka keberhasilan Indonesia
melaksanakan Ganefo pada tahun 1963 merupakan prestasi besar dan
mengagungkan, dan sulit rasanya terulang kembali saat ini. Ganefo, yang memiliki semboyan Onward! No Retreat (Maju Terus! Pantang Mundur), berlangsung 10 sampai 22 Nopember 1963. Diikuti 2.200 atlit dari 48 (versi lain menyebutkan, ada 51 negara) negara Asia, Afrika, Amerika Latin, dan Eropa (Timur). Karena besarnya jumlah kepesertaan dan cabang olahraga yang dipertandingkan, maka “Ganefo” pantas disebut Olympiade tandingan.
Sebelum mengulas jauh soal Ganefo ini, kita sebaiknya mengupas sedikit mengenai konteks historis yang melingkupinya, dan hubungannya dengan perjuangan nasional bangsa Indonesia itu sendiri. Pada tahun 1961, Bung Karno menelorkan konsepsinya dalam memandang dunia, yaitu soal Nefo dan Oldefo, dan mempertentangkannya sebagai kontradiksi yang tak-terhindarkan (terdamaikan). Nefo-The new emerging Forces—mewakili kekuatan baru yang sedang tumbuh, yaitu Negara-negara Asia, Afrika, Amerika Latin yang berusaha bebas dari neo-kolonialisme dan imperialisme serta berusaha membangun tatanan dunia baru tanpa exploitation l,homme par I’homme, sementara Oldefo—The Old Esthablished Forces—mewakili negeri-negeri imperialis dan kekuatan lama yang semakin dekaden.
Setelah era perjuangan fisik untuk pembebasan nasional, Soekarno pada tahun 1957, disebut juga tahun penentuan, telah menandaskan bahwa nation building memerlukan revolusi mental. Segera setelah itu, Bung Karno telah berkeyakinan bahwa, selain olahraga sebagai alat pembentuk jasmani, olahraga adalah alat pembangun mental dan rohani yang efektif. Dan, karenanya, olahraga dapat dijadikan salah satu alat untuk membangun bangsa dan karakternya (nation and character building).
Selain dimaterialkan dalam bentuk kurikulum di sekolah-sekolah dan menggencarkan kegiatan olahraga di kalangan rakyat, Bung Karno juga berusaha menjadikan ajang kejuaraan olahraga untuk menunjukkan nama bangsa Indonesia di dunia internasional. “Buat apa toh sebetulnya kita ikut-ikutan Asian Games? Kita harus mengangkat kita punya nama. Nama kita yang tiga setengah abad tenggelam dalam kegelapan,” demikian dikatakan Bung Karno.
Untuk itu, setelah mengalahkan Pakistan dalam pemungutan suara, Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggaraan Asian Games ke-IV. Segera setelah mendapat kepastian menjadi tuan rumah Asian Games, Bung Karno berupaya melobby Soviet untuk memperoleh bantuan dalam pembangunan sejumlah proyek olahraga. Meski Soviet kurang nyaman dengan kedekatan politik internasional Indonesia dengan Tiongkok, namun negeri sosialis paling pertama di dunia ini tetap bersedia memberi bantuan sebesar 10,5 juta dollar AS, yang, menurut Maulwi Saelan, salah satu ajudan Presiden Bung Karno pada saat itu, dibayar oleh Indonesia dengan karet alam dalam tempo dua tahun.
Usaha Bung Karno tidak sia-sia. Indonesia berhasil membangun kompleks olahraga, dimana di dalamnya terdapat stadion utama yang memiliki kapasitas 100.000 penonton (sebelum diciutkan menjadi 80.000 pada tahun 2007), dan menggunakan arsitektur temu gelang. Istana Olahraga (Istora) selesai dibangun pada 21 Mei 1961, Stadion Renang, Stadion Madya, dan dan Stadion Tenis (Desember 1961), Gedung Basket (Juni 1962), serta Stadion Utama (21 Juli 1962). Kompleks stadion olahraga dibangun selama 2 1/2 tahun, siang dan malam oleh 14 insinyur Indonesia, 12.000 pekerja sipil dan militer bergantian dalam 3 shift.
Selain berhasil membangun kompleks olahraga, Indonesia juga berhasil membangun Hotel Indonesia (HI), memperluas ruas jalan Thamrin, Jalan jend.Sudirman, jalan Grogol (sekarang, Jalan S. Parman), dan pembangunan jembatan Semanggi yang didesain oleh Ir. Sutami.
Di ajang Asian Games itu, Indonesia berhasil menunjukkan prestasi yang membanggakan, yakni menempati urutan kedua perolehan medali setelah Jepang. Sarengat, pelari terbaik Indonesia saat itu, berhasil menjadi pelari tercepat dan memecahkan rekor Asia.
Saat itu, karena sikap keras Indonesia menentang kepesertaan Israel dan Taiwan di Asian Games, maka komite Olympiade Internasional (IOC) mencabut sementara keanggotaan Indonesia dalam organisasi tersebut. Menanggapi keputusan sepihak IOC tersebut, Bung Karno menegaskan bahwa Indonesia keluar dari IOC, dan menganggap organisasi tersebut sebagai perpanjangan tangan dari kepentingan neo-kolonialisme dan imperialism; dalam hal ini, Negara-negara Oldefo.
Sambil menegaskan perlunya kelanjutan semangat Asia-Afrika di Bandung tahun 1955 dan terus memperkuat konsepsinya mengenai Nefo, maka Bung Karno telah menegaskan pentingnya menciptakan asosiasi olahraga yang dibasiskan kepada Nefo. Untuk itu, melalui menteri Olahraga, Maladi, 12 negara telah diundang untuk menghadiri konferensi persiapan pelaksanaan Ganefo di Jakarta, diantarnya RRT, USSR, Pakistan, Kamboja, Irak, Vietnam utara, dan Mali.
Di dala forum itu, Indonesia telah menggaris-bawahi arti penting melawan olimpiade internasional, yang sejatinya adalah alat imperialisme. “Mereka mengatakan bahwa olahraga harus terpisah dari politik. Tapi, pada kenyataannya, mereka hanya beranggotakan Negara non-komunis, yaitu Negara-negara yang tidak mau melawan neo-kolonialisme dan imperialism…Indonesia mengajukan secara jujur, bahwa olahraga adalah sesuatu yang selalu berhubungan dengan politik. Indonesia mengajukan usulan untuk menggabungkan olahraga dan politik, dan melaksanakan sekarang Games of New Emerging Forces –Ganefor…melawan Oldefo,” demikian disampaikan delegasi Indonesia.
Demikianlah, setelah melalui persiapan dan perjuangan berat, Ganefo berhasil dilaksanakan di Jakarta, dari 10 sampai 22 Nopember 1963, yang menghadirkan 51 bendera nasional (mewakili Negara atau kekuatan progressif di Negara-negara tertentu). Prestasi Indonesia pun cukup membanggakan di ajang Ganefo ini, yaitu menempati urutan ketiga, setelah RRT dan USSR, dengan perolehan 21 emas, 25 perak, dan 35 perunggu.
Namun, berbeda dengan Olimpiade internasional yang didasarkan pada kompetisi murni untuk mencari juara, ganefo justru dibasiskan pada olahraga untuk memperkuat persaudaraan dan solidaritas. Sebelum Ganefo dibuka, Bung Karno mengundang kontingen Indonesia ke istana Negara, dimana ia menegaskan bahwa, tugas atlet Indonesia bukan hanya menunjukkan kemampuan mereka di bidang olahraga, tetapi juga membina persahabatan dengan atlet/peserta dari Negara lain.
*****
Sumber : http://www.berdikarionline.com/opini/20100827/ganefo-lembaran-sejarah-yang-terlupakan.html/