Untuk kesekian kalinya, anak muda Indonesia masih ada yang bertanya, “Di
mana Bung Karno dilahirkan? Blitar atau Surabaya?” Sedih sekaligus
senang mendengar pertanyaan itu. Menyedihkan, betapa bapak bangsa tidak
dikenali di mana kelahirannya oleh generasi penerusnya. Ada yang salah
dalam proses berjalannya sejarah di negeri ini. Ihwal rasa senang yang
membuncah, karena si muda tidak malu untuk bertanya.
Baiklah. Kita mengilas balik sejarah kelahiran Bung Karno, dari “geger”
pernikahan beda suku, beda agama antara Raden Soekeni Sosrodihardjo yang
Islam Theosof dan berasal dari Jawa, dengan Ida Ayu Nyoman Rai yang
Hindu dan berasal dari Gianyar, Bali. Untuk menikahi Idayu secara Islam,
maka Idayu terlebih dulu harus masuk Islam. Satu-satunya jalan bagi
mereka adalah kawin lari.
Seperti penuturan Bung Karno dalam otobiografi yang ditulis Cindy Adams,
bahwa untuk kawin lari menurut kebiasaan di Bali, harus mengikuti
tata-car tertentu. Kedua “merpati” itu bermalam di malam perkawinannya
di rumah salah seorang kawan. Sementara itu dikirimkan utusan ke rumah
orangtua si gadis untuk memberitahukan bahwa anak mereka sudah
menjalankan perkawinannya.
Soekeni dan Idayu mencari perlindungan di rumah Kepala Polisi yang
menjadi kawan Soekeni. Keluarga Idayu kemudian datang hendak menjemput
mempelai wanita, tetapi Kepala Polisi tidak mau melepaskan. “Tidak, dia
berada dalam perlindungan saya,” katanya.
Saat tiba mereka harus dihadapkan ke pengadilan, Idayu pun sempat
ditanya oleh hakim, “Apakah laki-laki ini memaksamu, bertentangan dengan
kemauanmu sendiri” Dan Idayu menjawab, “Tidak, tidak. Saya mencintainya
dan melarikan diri atas kemauan saya sendiri.” Maka, tiada pilihan bagi
mereka untuk mengizinkan perkawinan itu. Sekalipun demikian, pengadilan
mendenda Idayu 25 ringgit, yang nilai sama dengan 25 dolar ketika itu.
Idayu mewarisi beberapa perhiasan emas, dan untuk membayar denda itu, ia
menjualnya.
Tak lama setelah pernikahan mereka, sekitar tahun 1900, Soekeni
mengajukan permohonan pindah tugas ke wilayah Jawa. Pemerintah
mengabulkan, dan memindahkan Soekeni ke Surabaya. Keluarga muda ini
tinggal di Gang Pandean IV Nomor 40, Peneleh, Surabaya. Di sanalah Putra
Sang Fajar dilahirkan. (roso daras)
Sumber: rosodaras.wordpress.com