Catatan A. Umar Said
Sebentar lagi Hari Kemerdekaan 17 Agustus yang ke-63 akan tiba. Sudah
sepantasnyalah bahwa kita semua memperingati hari yang bersejarah ini,
dengan bermacam-macam cara kita masing-masing, dan juga merenungkan
berbagai hal yang berkaitan dengannya. Dalam tulisan yang kali ini,
disajikan kepada para pembaca berbagai bahan sebagai sumbangan untuk
sama-sama merenungkan apa arti proklamasi 17 Agustus bagi bangsa
Indonesia, dan apa perspektifnya untuk kemudian hari. Sudah jelas bahwa
kita bisa memandang 17 Agustus dari banyak segi, dan dari sudut pandang
yang bermacam-macam. Yang berikut di bawah ini adalah sebagian dari
begitu banyaknya dan bermacam-macamnya berbagai pandangan itu.
Seperti yang bisa sama-sama kita saksikan dewasa ini dimana-mana, sebagian terbesar rakyat kita (sekitar 80%) masih belum merasakan hasil kemerdekaan, karena dirundung oleh kemiskinan yang parah dan pengangguran yang meluas sekali. Sebagian terbesar rakyat kita terpaksa menderita karena kecilnya pendapatan untuk hidup sehari-hari (kurang dari 2 US$ sehari), dan sulit untuk mendapat pengobatan kalau sakit. Tetapi, sebaliknya, kita juga bisa sama-sama menyaksikan bahwa segolongan kecil dari lapisan atas atau kalangan elite masyarakat, justru bisa hidup bermewah-mewah secara keterlaluan, dan menumpuk harta haram secara besar-besaran dengan korupsi atau perbuatan-perbuatan lainnya yang tidak halal.
Hal lain yang juga sangat menyedihkan adalah banyaknya kasus korupsi yang mencerminkan kebejatan moral dan kebobrokan iman dari kalangan atas di bidang eksekutif, legislatif, judikatif, dan juga di kalangan parpol-parpol dan agama. Kebejatan moral dan kebobrokan iman yang sudah sangat menjijikkan ini kelihatan jelas sekali kalau kita ingat bahwa Gubernur Bank Indonesia, yang gaji sebulannya lebih dari Rp 100 juta, tetapi toh masih mau „main kotor” dalam kasus uang haram dari dana BI sebesar Rp 100 miliar. Atau, juga jelas sekali dalam kasus „korupsi berjemaah” di kalangan 52 anggota DPR yang umumnya bergaji antara Rp 50 sampai RP 80 juta sebulannya. Korupsi massal di kalangan anggota DPR, yang terdiri dari wakil-wakil parpol yang ikut dalam Pemilu yang lalu adalah puncak dari kemerosotan moral di kalangan „wakil rakyat”.
Separuh umur RI dirusak oleh Orde Baru
Kita semua bisa mencatat bahwa setengah dari umur Republik kita yang 63 tahun ini, yaitu selama 32 tahun, telah dikangkangi - dan dibikin rusak atau bobrok - oleh rejim miiliter Suharto dkk, yang bersekongkol dengan nekolim, terutama AS. Jangka waktu 32 tahun adalah lama sekali bagi RI yang berumur 63 tahun. Dan sekarang ini, banyak orang melihat atau merasakan sendiri betapa hebatnya kerusakan dan atau kebobrokan yang telah dibikin selama 32 tahun oleh rejim Orde Baru. Negara Republik Indonesia sekarang dalam proses kebangkrutan. Buktinya, lebih dari sepertiga daratan negeri ini dikuasai sekitar seribu pemegang kuasa pertambangan dan kontrak karya. Sembilan dari sepuluh ladang minyak dan gas bumi dikuasai perusahaan lintas negara sehingga hasilnya tidak pernah bisa dinikmati secara maksimal oleh rakyat Indonesia sendiri.
Lebih dari 37 juta orang masih hidup dalam kategori miskin, yang masih harus ditambah lebih dari tiga juga korban bermacam bencana. Satu dari sepuluh orang Indonesia hidup tanpa pekerjaan. Mereka yang bekerja sebagai buruh kini harus menghadapi ancaman dari pasar tenaga kerja yang fleksibel. Sistem kontrak dan outsourcing mengancam keamanan kerja dan membuat jutaan orang hidup tanpa kepastian sementara pengusaha menikmati keuntungan berlipat. Di pedesaan, petani yang merupakan separuh penduduk Indonesia memberikan sumbangan besar terhadap perekonomian tapi tidak mendapat perhatian.
Di Indonesia jumlah orang yang bertahan hidup dengan pendapatan kurang dari Rp 20.000 per hari sudah melebihi separuh, dan masuk ke dalam jajaran penduduk miskin dunia. Sementara 20.000 orang terkaya menguasai lebih dari separuh pendapatan nasional. Akibat dari ketimpangan ini kita saksikan setiap hari. Di Koja, Jakarta Utara, seorang ibu membakar diri bersama dua anaknya, sementara di Jawa Timur, seorang anak gantung diri karena tidak kuat menahan lapar. Dari seminar pemiskinan dan kekerasan terhadap perempuan yang berlangsung kemarin kita mendapat gambaran nyata bagaimana perempuan dan anak menjadi korban utama ketika negara tidak lagi menjalankan tugasnya, yakni menjamin kesejahteraan rakyat. (Yang ditulis dengan huruf miring adalah kutipan dari Resolusi Konperensi Warisan Otoritarianisme II : Demokrasi dan Tirani Modal Kampus Universitas Indonesia, Depok, 5-7 Agustus 2008)
Pengkhianatan besar terhadap cita-cita Bung Karno
Mengingat itu semua, dalam memperingati 17 Agustus perlu sekali kita ingat kembali jasa-jasa dan cita-cita para perintis kemerdekaan dan para pejuang 45, dan sekaligus juga ingat kepada pengkhianatan Suharto dkk bersama rejim militer Orde Barunya terhadap cita-cita besar Bung Karno dan pemimpin-pemimpin lainnya untuk menjadikan negara Republik Indonesia sebagai negara yang adil dan makmur, yang betul-betul berpedoman Bhinneka Tunggal Ika dan sungguh-sungguh mentrapkan Pancasila.
Kita masing-masing bisa merasakan bahwa Hari Ulangtahun yang ke 63 republik kita ini kita peringati dalam situasi dimana kerusakan moral besar-besaran sedang mengganas, terutama di kalangan atas di bidang eksekutif, legislatif, dan judikatif, termasuk di kalangan parpol dan agama. Kerusakan akhlak dan bejatnya iman ini dapat kita saksikan sehari-hari dalam pers dan tayangan televisi. Kerusakan akhlak dan kebejatan iman ini tercermin dalam merajalelanya korupsi, yang dilakukan oleh lapisan atas (terutama oleh orang-orang GOLKAR serta golongan-golongan lainnya yang sehaluan atau berpandangan sama).
Rusaknya akhlak dan kebejatan iman yang sebagian tercermin dalam banyaknya korupsi ini adalah satu tanda jelas bahwa negara dan bangsa kita sedang menghadapi proses pembusukan yang parah sekali. Karena itu, adalah wajar dan sah-sah saja kalau ada orang yang bertanya-tanya mengapa negara dan bangsa kita sekarang ini menjadi begini rusak? Apa-apa sajakah sebabnya, dan siapa-siapa sajakah yang harus bertanggungjawab atas segala hal yang buruk itu? Bagaimanakah perspektif di kemudian hari? Dan apa sajakah yang harus dilakukan untuk mengadakan perbaikan atau perubahan?
Jelas sekali bahwa banyak sekali atau sebagian terbesar dari masalah-masalah parah atau persoalan-persoalan besar yang kita hadapi sekarang ini pada pokoknya adalah disebabkan oleh sisa-sisa kesalahan atau warisan negatif dari sistem Orde Baru, yang diteruskan oleh berbagai pemerintahan pasca-Suharto yang berganti-ganti. Banyak sekali kebejatan moral besar-besaran yang kita lihat dewasa ini tidak nampak selama berbagai pemerintahan di bawah pimpinan Bung Karno.
Dalam banyak hal, terdapat perbedaan yang besar sekali antara pemerintahan Sukarno dan pemerintahan rejim militer Suharto.
“Di bawah Bendera Revolusi”-nya Bung Karno
Dalam kesempatan memperingati 17 Agustus seperti kali ini, kita ingat bahwa Bung Karno selalu menggunakan kesempatan yang penting ini untuk menyampaikan pidato kenegaraannya, yang pada umumnya berisi pendidikan politik dan mengandung berbagai ajaran revolusioner dan pengabdian kepada perjuangan untuk kepentingan rakyat banyak. Bolehlah dikatakan bahwa jiwa, atau pandangan Bung Karno mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan perjuangan bangsa Indonesia untuk masyarakat adil dan makmur, untuk persatuan bangsa antara golongan nasionalis, agama dan komunis, untuk nasionalisme kerakyatan, untuk perjuangan terhadap nekolim, semuanya itu ertuang dengan jelas dan bagus sekali dalam pidato-pidatonya ini. Dengan membaca pidato-pidatonya untuk menyambut 17 Agustus, yang dikumpulkan dalam buku „Di bawah Bendera Revolusi” kita bisa melihat betapa besar jiwa perjuangan Bung Karno dan betapa pula jauhnya dan luasnya pandangannya mengenai perjuangan untuk membela kepentingan rakyat banyak. Tidak perlulah kiranya untuk ditegaskan lagi di sini bahwa juga dalam hal ini, ada perbedaan yang jauh sekali antara Bung Karno dan Suharto (dan tokoh-tokoh lainnya).
Kita sama-sama ingat bahwa selama Orde Baru (dan selama beberapa pemerintahan pasca-Suharto) hari Ulangtahun Proklamasi 17 Agustus pada umumnya telah diperingati dengan pemandulan jiwa revolusioner, dengan pembiusan semangat anti-nekolim, dengan „penguburan” segala yang berkaitan dengan jasa-jasa dan gagasan-gagasan besar Bung Karno. Itulah sebabnya, maka dalam jangka yang lama sekali, peringatan 17 Agustus telah dirayakan oleh pendukung-pendukung Suharto terbatas sebagai upacara ritual, yang kosong jiwanya atau enteng-enteng saja isinya, karena kehilangan jiwa asli 17 Agustus, yaitu jiwa perjuangan untuk mengabdi kepada revolusi dan kepentingan rakyat banyak. Orde Baru beserta para pendukung setianya telah membunuh revolusi rakyat Indonesia atau mengubur jiwa revolusionernya.
Kejahatan Suharto adalah pengkhianatan terhadap 17 Agustus
Kali ini, ketika memperingati HUT 17 Agustus yang ke 63 ini, terasa sekali bahwa kita kehilangan seorang pemimpin bangsa, seorang tokoh yang amat tinggi kewibawaannya, seorang yang menjadi panutan, seorang yang sungguh-sungguh membuktikan diri sebagai pengabdi rakyat, seorang yang bisa mempersatukan sebanyak mungkin golongan masyarakat. Sekarang terasa sekali bahwa bangsa kita memerlukan adanya pemimpin yang sosoknya seperti Bung Karno, dan bukannya yang seperti Suharto yang dulunya berasal dari serdadu kolonial Belanda (KNIL) dan yang kemudian menjadi diktator kejam yang luar biasa korupnya. Kejahatan besar Suharto dkk terhadap HAM yang dilakukan sekitar peristiwa 65, dan dibarengi oleh perlakuan tidak manusiawi terhadap para korban Orde Baru (termasuk para tapol) adalah pengkhianatan besar terhadap isi dan jiwa proklamasi 17 Agustus.
Sesudah negara kita dirusak besar-besaran oleh Orde Baru selama separuh dari umur Republik kita, dan digantikan oleh berbagai pemerintahan yang meneruskan kesalahan atau dosa-dosanya, maka terasa sekali kebutuhan yang sangat mendesak akan adanya perubahan-perubahan fundamental dalam kekuasaan politik. Tanpa adanya perubahan atau pergeseran kekuasaan politik, dan menggantikannya dengan kekuasaan politik yang baru dan pimpinan nasional yang baru, serta politik yang baru pula, maka Republik Indonesia akan tetap rusak dan terus bobrok seperti yang telah terjadi selama lebih dari 40 tahun sejak berkuasanya Orde Baru.
Perubahan-perubahan penting di dunia dan di Tiongkok
Pentingnya perubahan atau penggantian kekuasaan politik di Indonesia ini terasa lebih jelas lagi kalau kita ingat bahwa situasi dunia pun sudah mengalami perubahan-perubahan yang tidak kecil. Perang dingin sudah lama selesai dalam bentuknya yang lama, dan Amerika Serikat yang tadinya merupakan kekuatan raksasa yang menguasai dunia sekarang sudah makin loyo, sedangkan India, Tiongkok, dan Vietnam, yang tadinya dimusuhi Amerika Serikat sekarang muncul sebagai kekuatan baru di dunia berkat kemajuan-kemajuan ekonominya yang spektakuler. Kebesaran, dan kemegahan, atau kehebatan yang ditunjukkan oleh penyelenggaraan Olimpiade yang ke-29 di Peking adalah salah satu di antara banyak pertanda atau bukti tentang besarnya perubahan yang terjadi di dunia, terutama di Tiongkok.
Ketika memperingati HUT 17 Agustus yang ke 63, kita pantas prihatin karena adanya kenyataan bahwa kita sudah ketinggalan jauh dari India, Tiongkok dan Vietnam yang sama-sama dilahirkan sesudah akhir Perang Dunia ke-2. Walaupun di negara-negara itu masih terdapat banyak kesulitan dan masalah berat, namun dapat dilihat dengan jelas sekali bahwa mereka telah dapat meraih kemajuan-kemajun besar dalam berbagai bidang. Ini berlainan sama sekali dengan apa yang terjadi di Indonesia, yang sekarang dirundung oleh berbagai krisis (antara lain : krisis moral, politik, ekonomi, sosial, yang bersumber dari persoalan-persoalan parah di bidang eksekutif, legislatif, dan judikatif). Kita saksikan dengan sedih maraknya pertentangan agama yang meruncing karena kefanatikan yang menyesatkan di samping adanya permusuhan yang berdasarkan kesukuan.
Peran angkatan muda untuk perubahan fundamental
Mengingat pengalaman lebih dari 40 tahun sejak tampilnya Orde Baru, sampai sekarang, maka jelaslah bahwa perspektif atau hari kemudian negara dan bangsa kita akan tetap terpuruk seperti sekarang ini dengan masih dikuasainya pemerintahan dan kehidupan politik oleh „orang-orang lama”, yang kebanyakan adalah orang-orang Golkar dan mantan militer (dan para pendukung setia Orde Baru lainnya) , yang pada umumnya sudah terbukti tidak bisa – atau, tidak mau ! – mendatangkan perbaikan bagi bangsa dan negara. Sekarang tambah lebih meyakinkan lagi bagi kita semua bahwa perbaikan fundamental atau perubahan besar demi kepentingan rakyat banyak tidak bisa diharapkan datang dari orang-orang yang berjiwa pro Suharto dan yang bersikap anti ajaran atau anti gagasan besar Bung Karno.
Dengan mengingat itu semua, nyatalah bahwa kekuasaan politik baru, yang dipegang oleh generasi muda bangsa kita adalah satu-satunya harapan bagi terjadinya perubahan fundamental dan besar-besaran yang bisa menyejahterakan kehidupan rakyat dan mempersatukan bangsa di bawah naungan Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila, seperti yang dicita-citakan Bung Karno dan para „founding fathers” lainnya. Generasi muda yang berjiwa revolusioner dan berorientasi pro-rakyat dan anti-neoliberalisme akan merupakan pendobrak sistem politik yang busuk yang sudah mengangkangi negara dan merusak bangsa selama lebih dari 40 tahun.
Munculnya generasi baru dalam kekuasaan politik yang baru pula dapat diharapkan bisa menghilangkan beban-beban politik atau ideologis yang menjadi sumber berbagai penyakit dan pertentangan sekitar peristiwa 65. Bersatunya generasi muda di sekitar gagasan-gagasan anti-neoliberalisme atau ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno merupakan sambutan terhadap perkembangan situasi di dunia seperti yang terjadi di banyak negeri Amerika Latin, terutama Venezuela, Bolivia, Argentina, Equador dan Kuba, yang sedang berusaha membangun Sosialisme Abad ke-21.
“Tokoh-tokoh lama” harus minggir atau mundur
Dari sudut pandang yang demikian ini maka nyatalah bahwa adalah tugas strategis seluruh kekuatan demokratik di Indonesia untuk terus-menerus memupuk dan mendorong generasi muda (yang rata-rata masih di bawah 40 tahun) untuk mempersiapkan diri guna mengambil alih peran „ kaum tua” dari kalangan lama, yang sudah terbukti gagal dalam tempo 40 tahun menyejahterakan sebagian terbesar rakyat kita. Sebab, pengalaman selama 40 tahun sejak Orde Baru sudah memberikan pelajaran yang pahit sekali kepada rakyat bahwa dengan pola atau sistem politik lama seperti yang sudah dijalankan oleh Orde Baru beserta berbagai pemerintahan yang berikutnya maka keadaan negara kita tidak mungkin akan menjadi makin baik, melainkan sebaliknya.
Seperti yang bisa sama-sama kita saksikan dewasa ini dimana-mana, sebagian terbesar rakyat kita (sekitar 80%) masih belum merasakan hasil kemerdekaan, karena dirundung oleh kemiskinan yang parah dan pengangguran yang meluas sekali. Sebagian terbesar rakyat kita terpaksa menderita karena kecilnya pendapatan untuk hidup sehari-hari (kurang dari 2 US$ sehari), dan sulit untuk mendapat pengobatan kalau sakit. Tetapi, sebaliknya, kita juga bisa sama-sama menyaksikan bahwa segolongan kecil dari lapisan atas atau kalangan elite masyarakat, justru bisa hidup bermewah-mewah secara keterlaluan, dan menumpuk harta haram secara besar-besaran dengan korupsi atau perbuatan-perbuatan lainnya yang tidak halal.
Hal lain yang juga sangat menyedihkan adalah banyaknya kasus korupsi yang mencerminkan kebejatan moral dan kebobrokan iman dari kalangan atas di bidang eksekutif, legislatif, judikatif, dan juga di kalangan parpol-parpol dan agama. Kebejatan moral dan kebobrokan iman yang sudah sangat menjijikkan ini kelihatan jelas sekali kalau kita ingat bahwa Gubernur Bank Indonesia, yang gaji sebulannya lebih dari Rp 100 juta, tetapi toh masih mau „main kotor” dalam kasus uang haram dari dana BI sebesar Rp 100 miliar. Atau, juga jelas sekali dalam kasus „korupsi berjemaah” di kalangan 52 anggota DPR yang umumnya bergaji antara Rp 50 sampai RP 80 juta sebulannya. Korupsi massal di kalangan anggota DPR, yang terdiri dari wakil-wakil parpol yang ikut dalam Pemilu yang lalu adalah puncak dari kemerosotan moral di kalangan „wakil rakyat”.
Separuh umur RI dirusak oleh Orde Baru
Kita semua bisa mencatat bahwa setengah dari umur Republik kita yang 63 tahun ini, yaitu selama 32 tahun, telah dikangkangi - dan dibikin rusak atau bobrok - oleh rejim miiliter Suharto dkk, yang bersekongkol dengan nekolim, terutama AS. Jangka waktu 32 tahun adalah lama sekali bagi RI yang berumur 63 tahun. Dan sekarang ini, banyak orang melihat atau merasakan sendiri betapa hebatnya kerusakan dan atau kebobrokan yang telah dibikin selama 32 tahun oleh rejim Orde Baru. Negara Republik Indonesia sekarang dalam proses kebangkrutan. Buktinya, lebih dari sepertiga daratan negeri ini dikuasai sekitar seribu pemegang kuasa pertambangan dan kontrak karya. Sembilan dari sepuluh ladang minyak dan gas bumi dikuasai perusahaan lintas negara sehingga hasilnya tidak pernah bisa dinikmati secara maksimal oleh rakyat Indonesia sendiri.
Lebih dari 37 juta orang masih hidup dalam kategori miskin, yang masih harus ditambah lebih dari tiga juga korban bermacam bencana. Satu dari sepuluh orang Indonesia hidup tanpa pekerjaan. Mereka yang bekerja sebagai buruh kini harus menghadapi ancaman dari pasar tenaga kerja yang fleksibel. Sistem kontrak dan outsourcing mengancam keamanan kerja dan membuat jutaan orang hidup tanpa kepastian sementara pengusaha menikmati keuntungan berlipat. Di pedesaan, petani yang merupakan separuh penduduk Indonesia memberikan sumbangan besar terhadap perekonomian tapi tidak mendapat perhatian.
Di Indonesia jumlah orang yang bertahan hidup dengan pendapatan kurang dari Rp 20.000 per hari sudah melebihi separuh, dan masuk ke dalam jajaran penduduk miskin dunia. Sementara 20.000 orang terkaya menguasai lebih dari separuh pendapatan nasional. Akibat dari ketimpangan ini kita saksikan setiap hari. Di Koja, Jakarta Utara, seorang ibu membakar diri bersama dua anaknya, sementara di Jawa Timur, seorang anak gantung diri karena tidak kuat menahan lapar. Dari seminar pemiskinan dan kekerasan terhadap perempuan yang berlangsung kemarin kita mendapat gambaran nyata bagaimana perempuan dan anak menjadi korban utama ketika negara tidak lagi menjalankan tugasnya, yakni menjamin kesejahteraan rakyat. (Yang ditulis dengan huruf miring adalah kutipan dari Resolusi Konperensi Warisan Otoritarianisme II : Demokrasi dan Tirani Modal Kampus Universitas Indonesia, Depok, 5-7 Agustus 2008)
Pengkhianatan besar terhadap cita-cita Bung Karno
Mengingat itu semua, dalam memperingati 17 Agustus perlu sekali kita ingat kembali jasa-jasa dan cita-cita para perintis kemerdekaan dan para pejuang 45, dan sekaligus juga ingat kepada pengkhianatan Suharto dkk bersama rejim militer Orde Barunya terhadap cita-cita besar Bung Karno dan pemimpin-pemimpin lainnya untuk menjadikan negara Republik Indonesia sebagai negara yang adil dan makmur, yang betul-betul berpedoman Bhinneka Tunggal Ika dan sungguh-sungguh mentrapkan Pancasila.
Kita masing-masing bisa merasakan bahwa Hari Ulangtahun yang ke 63 republik kita ini kita peringati dalam situasi dimana kerusakan moral besar-besaran sedang mengganas, terutama di kalangan atas di bidang eksekutif, legislatif, dan judikatif, termasuk di kalangan parpol dan agama. Kerusakan akhlak dan bejatnya iman ini dapat kita saksikan sehari-hari dalam pers dan tayangan televisi. Kerusakan akhlak dan kebejatan iman ini tercermin dalam merajalelanya korupsi, yang dilakukan oleh lapisan atas (terutama oleh orang-orang GOLKAR serta golongan-golongan lainnya yang sehaluan atau berpandangan sama).
Rusaknya akhlak dan kebejatan iman yang sebagian tercermin dalam banyaknya korupsi ini adalah satu tanda jelas bahwa negara dan bangsa kita sedang menghadapi proses pembusukan yang parah sekali. Karena itu, adalah wajar dan sah-sah saja kalau ada orang yang bertanya-tanya mengapa negara dan bangsa kita sekarang ini menjadi begini rusak? Apa-apa sajakah sebabnya, dan siapa-siapa sajakah yang harus bertanggungjawab atas segala hal yang buruk itu? Bagaimanakah perspektif di kemudian hari? Dan apa sajakah yang harus dilakukan untuk mengadakan perbaikan atau perubahan?
Jelas sekali bahwa banyak sekali atau sebagian terbesar dari masalah-masalah parah atau persoalan-persoalan besar yang kita hadapi sekarang ini pada pokoknya adalah disebabkan oleh sisa-sisa kesalahan atau warisan negatif dari sistem Orde Baru, yang diteruskan oleh berbagai pemerintahan pasca-Suharto yang berganti-ganti. Banyak sekali kebejatan moral besar-besaran yang kita lihat dewasa ini tidak nampak selama berbagai pemerintahan di bawah pimpinan Bung Karno.
Dalam banyak hal, terdapat perbedaan yang besar sekali antara pemerintahan Sukarno dan pemerintahan rejim militer Suharto.
“Di bawah Bendera Revolusi”-nya Bung Karno
Dalam kesempatan memperingati 17 Agustus seperti kali ini, kita ingat bahwa Bung Karno selalu menggunakan kesempatan yang penting ini untuk menyampaikan pidato kenegaraannya, yang pada umumnya berisi pendidikan politik dan mengandung berbagai ajaran revolusioner dan pengabdian kepada perjuangan untuk kepentingan rakyat banyak. Bolehlah dikatakan bahwa jiwa, atau pandangan Bung Karno mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan perjuangan bangsa Indonesia untuk masyarakat adil dan makmur, untuk persatuan bangsa antara golongan nasionalis, agama dan komunis, untuk nasionalisme kerakyatan, untuk perjuangan terhadap nekolim, semuanya itu ertuang dengan jelas dan bagus sekali dalam pidato-pidatonya ini. Dengan membaca pidato-pidatonya untuk menyambut 17 Agustus, yang dikumpulkan dalam buku „Di bawah Bendera Revolusi” kita bisa melihat betapa besar jiwa perjuangan Bung Karno dan betapa pula jauhnya dan luasnya pandangannya mengenai perjuangan untuk membela kepentingan rakyat banyak. Tidak perlulah kiranya untuk ditegaskan lagi di sini bahwa juga dalam hal ini, ada perbedaan yang jauh sekali antara Bung Karno dan Suharto (dan tokoh-tokoh lainnya).
Kita sama-sama ingat bahwa selama Orde Baru (dan selama beberapa pemerintahan pasca-Suharto) hari Ulangtahun Proklamasi 17 Agustus pada umumnya telah diperingati dengan pemandulan jiwa revolusioner, dengan pembiusan semangat anti-nekolim, dengan „penguburan” segala yang berkaitan dengan jasa-jasa dan gagasan-gagasan besar Bung Karno. Itulah sebabnya, maka dalam jangka yang lama sekali, peringatan 17 Agustus telah dirayakan oleh pendukung-pendukung Suharto terbatas sebagai upacara ritual, yang kosong jiwanya atau enteng-enteng saja isinya, karena kehilangan jiwa asli 17 Agustus, yaitu jiwa perjuangan untuk mengabdi kepada revolusi dan kepentingan rakyat banyak. Orde Baru beserta para pendukung setianya telah membunuh revolusi rakyat Indonesia atau mengubur jiwa revolusionernya.
Kejahatan Suharto adalah pengkhianatan terhadap 17 Agustus
Kali ini, ketika memperingati HUT 17 Agustus yang ke 63 ini, terasa sekali bahwa kita kehilangan seorang pemimpin bangsa, seorang tokoh yang amat tinggi kewibawaannya, seorang yang menjadi panutan, seorang yang sungguh-sungguh membuktikan diri sebagai pengabdi rakyat, seorang yang bisa mempersatukan sebanyak mungkin golongan masyarakat. Sekarang terasa sekali bahwa bangsa kita memerlukan adanya pemimpin yang sosoknya seperti Bung Karno, dan bukannya yang seperti Suharto yang dulunya berasal dari serdadu kolonial Belanda (KNIL) dan yang kemudian menjadi diktator kejam yang luar biasa korupnya. Kejahatan besar Suharto dkk terhadap HAM yang dilakukan sekitar peristiwa 65, dan dibarengi oleh perlakuan tidak manusiawi terhadap para korban Orde Baru (termasuk para tapol) adalah pengkhianatan besar terhadap isi dan jiwa proklamasi 17 Agustus.
Sesudah negara kita dirusak besar-besaran oleh Orde Baru selama separuh dari umur Republik kita, dan digantikan oleh berbagai pemerintahan yang meneruskan kesalahan atau dosa-dosanya, maka terasa sekali kebutuhan yang sangat mendesak akan adanya perubahan-perubahan fundamental dalam kekuasaan politik. Tanpa adanya perubahan atau pergeseran kekuasaan politik, dan menggantikannya dengan kekuasaan politik yang baru dan pimpinan nasional yang baru, serta politik yang baru pula, maka Republik Indonesia akan tetap rusak dan terus bobrok seperti yang telah terjadi selama lebih dari 40 tahun sejak berkuasanya Orde Baru.
Perubahan-perubahan penting di dunia dan di Tiongkok
Pentingnya perubahan atau penggantian kekuasaan politik di Indonesia ini terasa lebih jelas lagi kalau kita ingat bahwa situasi dunia pun sudah mengalami perubahan-perubahan yang tidak kecil. Perang dingin sudah lama selesai dalam bentuknya yang lama, dan Amerika Serikat yang tadinya merupakan kekuatan raksasa yang menguasai dunia sekarang sudah makin loyo, sedangkan India, Tiongkok, dan Vietnam, yang tadinya dimusuhi Amerika Serikat sekarang muncul sebagai kekuatan baru di dunia berkat kemajuan-kemajuan ekonominya yang spektakuler. Kebesaran, dan kemegahan, atau kehebatan yang ditunjukkan oleh penyelenggaraan Olimpiade yang ke-29 di Peking adalah salah satu di antara banyak pertanda atau bukti tentang besarnya perubahan yang terjadi di dunia, terutama di Tiongkok.
Ketika memperingati HUT 17 Agustus yang ke 63, kita pantas prihatin karena adanya kenyataan bahwa kita sudah ketinggalan jauh dari India, Tiongkok dan Vietnam yang sama-sama dilahirkan sesudah akhir Perang Dunia ke-2. Walaupun di negara-negara itu masih terdapat banyak kesulitan dan masalah berat, namun dapat dilihat dengan jelas sekali bahwa mereka telah dapat meraih kemajuan-kemajun besar dalam berbagai bidang. Ini berlainan sama sekali dengan apa yang terjadi di Indonesia, yang sekarang dirundung oleh berbagai krisis (antara lain : krisis moral, politik, ekonomi, sosial, yang bersumber dari persoalan-persoalan parah di bidang eksekutif, legislatif, dan judikatif). Kita saksikan dengan sedih maraknya pertentangan agama yang meruncing karena kefanatikan yang menyesatkan di samping adanya permusuhan yang berdasarkan kesukuan.
Peran angkatan muda untuk perubahan fundamental
Mengingat pengalaman lebih dari 40 tahun sejak tampilnya Orde Baru, sampai sekarang, maka jelaslah bahwa perspektif atau hari kemudian negara dan bangsa kita akan tetap terpuruk seperti sekarang ini dengan masih dikuasainya pemerintahan dan kehidupan politik oleh „orang-orang lama”, yang kebanyakan adalah orang-orang Golkar dan mantan militer (dan para pendukung setia Orde Baru lainnya) , yang pada umumnya sudah terbukti tidak bisa – atau, tidak mau ! – mendatangkan perbaikan bagi bangsa dan negara. Sekarang tambah lebih meyakinkan lagi bagi kita semua bahwa perbaikan fundamental atau perubahan besar demi kepentingan rakyat banyak tidak bisa diharapkan datang dari orang-orang yang berjiwa pro Suharto dan yang bersikap anti ajaran atau anti gagasan besar Bung Karno.
Dengan mengingat itu semua, nyatalah bahwa kekuasaan politik baru, yang dipegang oleh generasi muda bangsa kita adalah satu-satunya harapan bagi terjadinya perubahan fundamental dan besar-besaran yang bisa menyejahterakan kehidupan rakyat dan mempersatukan bangsa di bawah naungan Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila, seperti yang dicita-citakan Bung Karno dan para „founding fathers” lainnya. Generasi muda yang berjiwa revolusioner dan berorientasi pro-rakyat dan anti-neoliberalisme akan merupakan pendobrak sistem politik yang busuk yang sudah mengangkangi negara dan merusak bangsa selama lebih dari 40 tahun.
Munculnya generasi baru dalam kekuasaan politik yang baru pula dapat diharapkan bisa menghilangkan beban-beban politik atau ideologis yang menjadi sumber berbagai penyakit dan pertentangan sekitar peristiwa 65. Bersatunya generasi muda di sekitar gagasan-gagasan anti-neoliberalisme atau ajaran-ajaran revolusioner Bung Karno merupakan sambutan terhadap perkembangan situasi di dunia seperti yang terjadi di banyak negeri Amerika Latin, terutama Venezuela, Bolivia, Argentina, Equador dan Kuba, yang sedang berusaha membangun Sosialisme Abad ke-21.
“Tokoh-tokoh lama” harus minggir atau mundur
Dari sudut pandang yang demikian ini maka nyatalah bahwa adalah tugas strategis seluruh kekuatan demokratik di Indonesia untuk terus-menerus memupuk dan mendorong generasi muda (yang rata-rata masih di bawah 40 tahun) untuk mempersiapkan diri guna mengambil alih peran „ kaum tua” dari kalangan lama, yang sudah terbukti gagal dalam tempo 40 tahun menyejahterakan sebagian terbesar rakyat kita. Sebab, pengalaman selama 40 tahun sejak Orde Baru sudah memberikan pelajaran yang pahit sekali kepada rakyat bahwa dengan pola atau sistem politik lama seperti yang sudah dijalankan oleh Orde Baru beserta berbagai pemerintahan yang berikutnya maka keadaan negara kita tidak mungkin akan menjadi makin baik, melainkan sebaliknya.
Sumber : http://annabelle.aumars.perso.sfr.fr/