Oleh : Sutoro SB (Alumni GMNI Jogjakarta)
Pendahuluan
Banyak orang belajar/mempelajari Marhaenisme, yakni ajaran Bung Karno.
Namun tidak menemukan apa sebenarnya inti dan kehendak dari ajaran
tersebut. Mereka tidak atau belum menemukan "benang merahnya". Dengan
demikian maka sepertinya mereka sekedar mempelajari secara lahir tentang
perjuangan dan keberhasilan Bung Karno di masa yang silam, karena
mereka cuma mewarisi abunya sejarah bukan apinya sejarah.
Apabila setiap pengikut ajaran Bung Karno hanyalah demikian adanya,
hanya sekedar pewaris-pewaris abu sejarah belaka, alangkah sayangnya
ajaran yang brilliant itu kemudian menjadi kenang-kenangan (sekalipun
kenang-kenangan yang indah). Marhaenisme kemudian menjadi "out of date".
Adalah menjadi tanggungjawab kita bersama untuk kembali menghidupkan
jiwa ajaran tersebut, kembali menemukan arti kebaikan bagi rakyat.
Dengan demikian Marhaenisme akan menampakkan jiwanya sebagai ajaran yang
dinamis dan selalu up to date.
Untuk itulah maka mempelajari Marhaenisme tidaklah cukup hanya
mempelajari pengertian-pengertiannya yang verbal, akan tetapi kita
mencoba untuk menukik lebih dalam mencoba mengkaji makna hakikinya.
Dengan demikian maka di samping kita mengerti apa Marhaenisme (secara
verbal), kita coba menelaah mengapa dan juga untuk apa Marhaenisme yang
meliputi mengapa lahir Marhaenisme dan mengapa kita pilih sekarang serta
untuk apa sebenarnya kita memiliki Marhaenisme itu.
Pengertian dasar Marhaenisme
Marhaenisme - Marhaen - Marhaenis
Marhaenisme, adalah ajaran Bung Karno. Pengertianya adalah meliputi asa (teori politik) dan asas perjuangan.
Sebagai asa atau teori politik, ia adalah teori yang menghendaki susunan
masyarakat dan negara yang didalam segala halnya menghendaki
keselamatan kaum Marhaen*. Sebagai teori politik meliputi pengertian :
- Sosio Nasionalisme,
- Sosio Demokrasi,
- Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sosio Nasionalisme; adalah nasionalisme masyarakat, nasionalisme yang
mencari selamatnya seluruh masyarakat dan yang bertindak menurut wet-wet
nya masyarakat itu**.
Sosio Demokrasi; adalah merupakan konsekuensi daripada Sosio
Nasionalisme. Sosio demokrasi adalah pula demokrasi yang berdiri dengan
kedua kakinya didalam masyarakat***. Sosio Demokrasi tidak untuk
kepentingan sekelompok kecil masyarakat akan tetapi adalah untuk
kepentingan seluruh masyarakat.
Marhaen; adalah diambil dari nama seorang petani yang ditemui oleh Bung
Karno di daerah Priangan. Marhaen digunakan sebagai simbol untuk
menggambarkan kelompok masyarakat/bangsa Indonesia yang
menderita/sengsara. Ia sengsara/menderita bukan karena kemalasannya atau
kebodohannya, akan tetapi ia sengsara/menderita karena disengsarakan
oleh sesuatu sistem/stelsel kapitalisme-kolonialisme.
Marhaen meliputi unsur-unsur tani, buruh-tani, pedagang kecil yang
melarat, dan semua kaum melarat lainnya yang dimelaratkan oleh
sistem/stelsel kapitalisme-kolonialisme dan feodalisme.
Marhaenis, adalah penganut ajaran Marhaenisme yang berjuang menurut
petunjuk ajaran-ajaran Marhaenisme, berjuang dengan
bersama-sama/mengorganisir berjuta-juta kaum marhaen yang tersebar di
seluruh tanah air.
2.1. Marhaenisme sebagai asas/teori politik sebenarnya merupakan kesimpulan, sekaligus sebagai teori perjuangan.
Artinya : pada saat itu Bung Karno menyimpulkan bahwa bangsa Indonesia
(Marhaen) menderita karena suatu sistem/stelsel. Sebetulnya ia penuh
potensi dan bukan kaum yang malas.
Dengan demikian maka Marhaenisme mengandung teori perjuangan. Masalahnya
mengapa sampai tiba kesimpulan yang demikian itu? Disinilah makna
daripada Marhaenisme. Dengan visi Marhaenisme (yang berpihak kepada
rakyat), kita dapat menganalisa masyarakat dan hasilnya adalah kita
mengetahui kesengsaraan rakyat yang disebabkan oleh suatu
sistem/stelsel. Dan dengan itu pula kita dapat menentukan cara
berjuangnya.
2.2. Marhaenisme adalah kesimpulan dari penelaahan terhadap kondisi masyarakat Indonesia.
Kita ketahui bahwasanya masyarakat itu berkembang, seperti yang
dijelaskan dalam metode berpikir marhenisme tentang
"THESA-ANTITHESA-SYNTESA". Demikianlah masyarakat berkembang terus dari
suatu thesa (keadaan) kepada thesa (keadaan) berikutnya, sampai pada
thesa yang terakhir. Gerak ini kita kenal sebagai "DIALEKTIKA". Dengan
dialektika, selanjutnya kita dapat melihat dua elemen dalam masyarakat
yang selalu berhadapan, yakni :
- element establishment, dan
- elemen perubahan.
Elemen establishment adalah elemen yang menguasai thesa dan menjalankan
suatu stelsel/sistem sebagai kelangsungan thesa (keadaan) tersebut.
Elemen perubahan adalah elemen yang berada pada struktur antithesa.
Apabila thesa pertama telah gugur karena munculnya antithesa, maka
keadaan baru atau sinthesa akan dikuasai oleh elemen perubahan tersebut.
Selanjutnya pada saat itu elemen perubahan menjadi elemen
establishment. Demikianlah proses semacam ini berjalan terus sampai
tercipta thesa terakhir yakni satu bentuk stelsel /sistem kemasyarakatan
yang terakhir dan sempurna (dalam ajaran Marhaenisme, bentuk tersebut
adalah Sosialisme Indoneisa).
Dari teori di atas dapat dianalisa keadaan masyarakat Indonesia. Ketika
kolonialisme Belanda menguasai maka posisinya adalah sebagai
establishment. Ia menguasai suatu thesa/keadaan (penjajahan) dan menjadi
suatu stelsel/ sistem kapitalisme-kolonialisme.
Pada saat yang bersamaan , disitu telah terdapat pula elemen perubahan,-
yakni masyarakat Indonesia yang tidak puas dengan keadaan. Semula
kekuatan perubahan ini bersifat latent, setelah kekuatan ini berhasil
diungkapkan - maka menjadi kekuatan riil untuk merubah keadaan. Cara
pengungkapan kekuatan latent menjadi kekuatan riil itulah yang kemudian
dirumuskan sebagai asa/teori perjuangan. Didalam buku MENCAPAI INDONESIA
MERDEKA teori atau asas perjuangan disebutkan antara lain melipuit :
self-help, self-relience, non kooperatip, machtvrming, massa aksi,
revolusioner.
Setelah terjadi perubahan (kemerdekaan Indonesia) dan elemen perubahan
berubah menjadi elemen establishment dan telah menguasai keadaan maka
dibutuhkan teori-teori atau asas untuk menyusun sistem/stelsel
kemasyarakatan. Dari hasil telaah yang mendalam ditemukan teori politik
yang merupakan jawaban (antithesa) dari keadaan (thesa) yang ada.
Secara singkat digambarkan sebagai berikut:
Catatan: Dalam kenyatan masyarakat masing-masing kondisi tersebut tidak dapat selalu dipisahkan, akan tetapi saling berkaitan.
Dengan demikian maka nampaklah bahwa baik sebagai teori politik/asas
maupun sebagai teori perjuangan, adalah merupakan jawaban terhadap
keadaan.
Mengapa Memilih Marhaenisme
Persoalan berikutnya adalah mengapa sampai terjadi kesimpulan tersebut ?
dengan kata lain; mengapa mesti lahir Marhaenisme, demikian pula
mengapa pula kita memilihnya?
Pada proses dialektika seperti disebutkan di depan, maka rakyat berada
pada elemen perubahan karena ia (rakyat) jelas merupakan bagian
masyarakat yang menderita akibat satu sistem/stelsel yang dipertahankan
oleh elemen establishment. Proses perubahan tersebut adalah sudah
menjadi keharusan sejarah dan merupakan hukum alam, dan mesti terjadi.
Karena setiap Marhaenis menghendaki perbaikan nasib rakyat, maka ia
pasti berpihak kepada rakyat, berpihak kepada perubahan, karena
perubahan yang terjadi adalah satu proses yang menuju kepada perbaikan
nasib rakyat. Ketika Bung Karno dengan pisau analisanya mencoba
meneelaah keadaan yang terjadi atas bangsanya dan dilihatnya elemen
establishment (kolonialisme Belanda) dan elemen perubahan (Marhaen yang
menderita) maka tercetuslah ajaran ajarannya yang menghendaki perubahan
dengan jalan "merdeka sekarang juga". Dengan kemerdekaan nasional
(sebagai jembatan emas) akan diperbaikilah nasib Marhaen yang menderita.
Maka boleh disimpulkan; karena adanya kolonialisme Belanda dan karena
adanya Marhaen yang menderita dan atas kemampuan Bung Karno, lahirlah
"MARHAENISME" sebagai teori politik dan teori perjuangan yang
menghendaki perubahan-perubahan menuju perbaikan nasib Marhaen.
Persoalan berikutnya adalah merupakan hal yang penting bagi kita.
Mengapa kita memilih Marhaenisme sebagai anutan? Menjawab pertanyaan
tersebut maka terlebih dahulu kita menjawab permasalahan berikut, yakni :
- Apakah proses perubahan/dialektika itu masih akan terjadi ?
- Berada pada pihak manakah kita dalam pertentangan dua elemen yang ada (establishment dan perubahan) tersebut ? Di dalam metode berpikir Marhaenisme telah jelas diterangkan tentang pola perubahan dalam masyarakat, secara sedarhana dapat digambarkan sebagai berikut:
- Berdikari dalam bidang ekonomi.
- Berdaulat dalam bidang politik.
- Berkepribadian dalam kebudayaan.
Melihat proses tersebut kita dihadapkan pada pilihan untuk menilai dimanakah fase perkembangan masyarakat yang ada. Apabila kesimpulan kita bahwa masyarakat sosialisme Indonesia (III) belum tercapai maka berarti proses perubahan masih akan terjadi. Dalam hal ini setiap Marhaenis berpihak pada elemen perubahan yang menuju kepada perbaikan nasib kaum Marhaen/rakyat.
Untuk Apa Marhaenisme ?
Setelah kita tahu apa dan mengapa marhaenisme, maka masalahnya adalah penarikan relevansinya pada saat ini. Dengan kata lain, untuk apakah marhaenisme ?
Jawabannya adalah sangat sederhana "UNTUK BERJUANG". Namun demikian sekalipun ungkapan diatas adalah sangat sederhana, akan tetapi menerangkan masalah ini sebenarnya memerlukan uraian yang sangat panjang.
Konotasi "BERJUANG" adalah berarti memperjuangkan nasib rakyat. Lalu kita mencoba mengkaji dan menelaah masalah kekinian untuk kemudian mengambil sikap. Pertama, kita lihat bagaimana, dan bagaimana kesimpulannya. Kalau kesimpulan kita adalah "PENDERITAAN", maka masalah berikutnya adalah: mengapa mereka menderita?, apa penyebabnya?, dan sebagainya.
Secara sederhana kita simpulkan secara global, ambilah TRISAKTI TAVIP sebagai tolok ukur. Rumusan Trisakti adalah:
-
Penutup
- fase satu, nasionalisme demokrat
- fase dua, sosialisme demokrat
- fase tiga, sosialisme indonesia
Kalau kita melihat pola perubahan masyarakat melalui proses dialektika, maka seolah-olah kita terpukau, apakah untuk mencapai Sosialisme Indonesia harus melalui fase kapitalisme? Bung Karno menjelaskan bahwa tanpa melalui fase kapitalisme kita dapat mencapai Sosialisme Indonesia. Teori ini kemudian disebut dengan "fase Sprong Teory". Dengan pentahapan revolusi, maka dengan meloncati fase kapitalisme kita dapat langsung menuju sosialisme. Ternyata Bung Karno tidak sendiri, artinya bahwa pendapat beliau (teori fase sprong) bukan satu-satunya pendapat atau teori yang berpendapat bahwa tanpa melalui kapitalisme dapat terbentuk sosialisme. Ernesto Che Guevara, seorang pejuang revolusioner dari Kuba (yang terbunuh di Bolivia) mempunyai pendapat yang sama walaupun dalam rumusannya yang berbeda. Dikatakannya sebagai berikut:
"It’s not necessary to weak for fullfillment condition a revolution, because the focus of insurection can create them".
Maksudnya, tanpa menunggu kondisi penuh untuk suatu revolusi (mencapai sosialisme), sosialisme akan tercapai. Karena revolusi untuk mencapai sosialisme akan terbentuk dengan sendirinya dengan dihidupkannya pergolakan-pergolakan, yang artinya masyarakat digembleng dalam suasana revolusioner secara terus menerus. Bung Karno membagi tahapan revolusi sebagai berikut:
-
Pada fase satu, semua elemen progresif dipersatukan, semua potensi
nasional disatukan (Nation And Character Building) untuk menyingkirkan
musuh dan penghalang revolusi. Pada fase kedua, setelah semua penghalang
revolusi berhasil disingkirkan, maka selanjutnya adalah membangun
landasan dasar sosialisme. Landasan mental telah tercipta ( dengan
Nation And Character Building) maka dibangunkanlah landasan fisiknya.
Dengan berakhirnya fase kedua maka kita telah siap memasuki fase tiga,
yakni Sosialisme Indonesia.
Sumber : http://gmni.ft.ugm.tripod.com