Islam, Nasakom Dan Kita
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid Alm
Beberapa tahun sebelum kewafatannya, mendiang Presiden Soekarno melontarkan gagasan tentang Nasionalisme-Agama-Komunisme (Nasakom). Gagasan itu, dalam waktu singkat cepat menjalar, karena didukung oleh kekuasaan beliau, namun tidak sedikit yang menentangnya. Landasan dari pemikiran beliau adalah kekhawatiran akan upaya mengadu domba antara golongan Nasionalis, Agama dan Komunisme. Golongan agama, di mata beliau hanya diwakili oleh dua kelompok, yakni Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Sedangkan kaum Komunis diwakili oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), dan terkadang Partai Murba juga digunakan beliau untuk menjadi penyeimbang dalam menghadapi golongan komunis tersebut. Karena kesulitan dalam menyatukan sikap dan langkah internal golongan Nasionalis, ditambah keterpecahan sangat mendalam di tubuh Partai Nasionalis Indonesia (PNI), maka mendiang Presiden Soekarno dalam tahun-tahun terakhir hidupnya memberikan tempat sangat besar pada PARTINDO (Partai Indonesia), yang sering dicemooh orang di belakang punggung beliau sebagai PARSOE (Partai Soekarno).
Gagasan mempersatukan ketiga hal itu dalam sebuah pemerintahan dengan
ciri Nasakom, muncul karena kekhawatiran beliau akan perpecahan bangsa
Indonesia jika ketiga golongan di atas dibiarkan saling bertentangan.
Ini mulai terjadi, ketika PKI mendukung serangkaian kegiatan budaya,
yang jelas-jelas melecehkan agama dan peranannya dalam kehidupan. Hal
ini terjadi, karena memang golongan Islam yang didominasi oleh Masyumi
(Majelis Syura Muslimin Indonesia) secara resmi menentang negara
Pancasila dan menolak Undang-Undang Dasar (UUD) yang memuat Pancasila,
serta menyerukan sebuah negara Islam dengan keahlian yang sangat tinggi.
Akibat penolakan itu, yang didukung oleh 52% suara, dewan konstituante
gagal menubuhkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai
negara kita, karena hanya didukung oleh 52% suara, sedangkan persyaratan
resminya haruslah lebih dari 2/3 suara konstituante atau minimal 67%
suara.
Dengan demikian, terjadilah krisis konstitusional yang hanya dapat
dipecahkan oleh Dekrit Presiden tertanggal 5 Juli 1959, yang menyatakan
pemberlakuan UUD 1945 “dengan jiwa Piagam Jakarta”. Ditambah dengan
pemberontakan daerah seperti PRRI-Permesta dan berbagai upaya percobaan
pembunuhan terhadap Presiden Soekarno, pantaslah kalau beliau merasakan
kekhawatiran akan tercerai-berainya bangsa Indonesia dalam beberapa
Republik. Maka, untuk menghadapi ancaman itulah Bung Karno melancarkan
gagasan Nasakom. Satu-satunya pihak yang menentang gagasan ini, namun
tidak melawannya secara resmi, adalah pihak militer (dulu bernama)
Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI), belakangan menjadi ABRI dan
sekarang TNI-POLRI.
Mengapakah ada tentangan seperti itu? Karena APRI dan teman-teman
mereka, takut penyebutan nama golongan secara terbuka dan terus terang,
justru akan membahayakan kelestarian bangsa dan negara ini, maka mereka
menolak gagasan di atas. Selama tahun-tahun terakhir pemerintahan
Presiden Soekarno, perlawanan terhadap gagasan itu justru membuatnya
semakin kritis terhadap gagasan penggolongan itu sendiri.
Sementara itu, gerakan Islam sendiri terbagi menjadi dua, sebagian ada
yang menerima dan sebagian lagi menolak gagasan Nasakom. Bagi mereka
yang menerima, tindakan itu di dasarkan pada keyakinan dan kemampuan
mereka untuk berkiprah dalam menghadapi komunisme tersebut. Sebaliknya,
bagi yang menentang, secara tegas menghendaki PKI harus dibubarkan.
Untuk mencari jalan tengah antara dua pikiran yang saling bertentangan
itu, maka perlu diadakan pemisahan yang jelas antara; mana yang
institusional dan mana yang kultural. Yang bersifat institusional,
biasanya mengambil bentuk negara, partai Islam, sosialisme, Islamisme
dan sebagainya. Sedangkan yang kulutral, dapat kita lihat antara lain
dalam bentuk silaturrahmi, kebiasaan berhalal-bihalal, merayakan Maulid
Nabi saw dan seterusnya.
Hal-hal institusional, dengan sengaja dipisahkan dari lembaga-lembaga
non-agama, seperti negara itu sendiri serta Undang-Undang Dasar (UUD)
dan seterusnya. Karena itulah antara negara dan UUD sebagai institusi,
dipisahkan sejauh-jauhnya dari partai Islam dan ideologi Islam sebagai
institusi pula. Maka lahirlah sikap melarang negara Islam, tetapi ibadah
shalat dan kesenian rebana sebagai budaya Islam, dibiarkan terus tanpa
hambatan. Dengan pemisahan institusi dari kultur kaum muslim santri ini,
diharapkan dalam jangka panjang sikap anti-agama dari kaum komunis dan
sebagian kaum nasionalis, dapat diubah menjadi sikap menghormati Islam
sebagai bagian dari budaya bangsa, tanpa menjadikan Islam sebagai musuh
negara.
Dalam tahun-tahun 70-an, terasa bahwa ada kebutuhan untuk menghidupkan
kembali manifestasi kultural/budaya dari agama Islam, mungkin karena
tatanan kehidupan yang semakin kapitalistik dan elitis, akibat
didasarkannya teori-teori pembangunan kita kepada materialisme. Dengan
demikian, seluruh acuan pembangunan akan menjadi materialistik, hingga
dengan begitu dirasakan peranan institusional dan kultural Islam dalam
penciptaan masyarakat yang modern menjdai semakin kecil. Ini berarti
tantangan besar bagi peranan kaum santri yang taat menjalankan perintah
agama yang jelas semakin bertambah, tampak dikecilkan dan disepelekan.
Responsi awal terhadap kenyataan ini mengambil bentuk upaya memenangkan
institusi Islam. Apa yang dikenal sebagai “upaya peng-Islaman” yang
dimulai mantan Presiden Soeharto pada akhir tahun 1989, dalam bentuk
topangan negara secara penuh atas Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia
(ICMI), tidak lain tidak bukan adalah menguatnya responsi institusional
Islam dalam menghadapi modernisasi. Sampai sekarang pun hal itu masih
terasa, seperti terbukti dari kasus kuatnya cengkeraman Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) atas Golkar. Tegaknya pendekatan institusional
untuk “memenangkan Islam” terhadap sisi materialistik dari modernisasi,
yang dianggap sebagai “musuh” Islam dan karenannya harus dilawan,
seringkali menimbulkan rasa ketakutan dan kegelisahan di kalangan
gerakan-gerakan dan kelompok-kelompok non-Islam dan non-santri. Dari
penghadapan ini, lalu muncul pembagian terlalu kaku dan bahkan sering
diberi anggapan pertentangan antara Islam dan Nasionalisme dalam
kehidupan bernegara kita.
Dengan memahami permasalahannya, seperti diuraikan di atas, kita lalu
mengerti bahwa antara keduanya sebenarnya tidak usah dipisah-pisahkan,
demikian juga antara Islam dan pemikiran-pemikiran lain. Itulah
sebabnya, mengapa penulis dulu mengusulkan dicabutnya TAP MPRS No. 25
tahun 1966. TAP itu melarang pengembangan gagasan dan penubuhan
institusi yang mewakili Marxisme-Leninisme (Komunisme), yang sebenarnya
tidak diperlukan lagi. Buatlah TAP MPR baru yang melarang institusi
komunisme, tapi bukan melarang pemikiran-pemikirannya, yang sebenarnya
tidak dikehendaki bangsa Indonesia. Yang tertinggal, adalah institusi
nasionalis dan institusi agama, terutama Islam, yang juga tidak
memerlukan institusionalisasi secara berlebihan. Singkatnya, pandangan
Nasakom tidak lagi perlu di-institusionalisasi dan diformalkan dalam
bentuk slogan, seperti Nasakom itu sendiri. Sederhana, bukan?
Sumber : http://www.pcnukabbogor.org