Senin, 06 Februari 2012

Tembak Bung Karno, Rugi 30 Sen



“Kenapa anda tidak menembak Soekarno waktu kudeta dulu?” , Kapten Westerling ditanya. Apa jawabnya? Kapten yang pernah mengatakan bahwa Soekarno adalah tokoh yang paling dibencinya, menjawab: “Orang Belanda itu perhitungan sekali. Satu peluru harganya 35 sen. Sedangkan harga Soekarno tak lebih dari 5 sen. Jadi rugi 30 sen. Kerugian yang tidak bisa dipertanggungjawabkan”. Dengan kata lain Westerling ingin menghina Soekarno, bahwa pelurunya lebih mahal daripada nyawa Soekarno.

  Indonesia tentu saja geram dengan penghinaan itu. Beberapa kali ada usaha untuk mengekstradisi Westerling ke Indonesia. Sayangnya usaha itu tak pernah terwujud sampai meninggalnya Westerling tahun 1987 dalam usia 68 tahun di Purmerend Belanda. Beberapa jam sebelum meninggal akibat serangan jantung, Westerling dikabarkan marah-marah pada wartawan Belanda yang tidak pernah berhenti menguber noda masa lalunya.
Permintaan untuk mengekstradisi dan mengadili Westerling terutama bukan karena penghinaan tadi. Tapi juga karena kekejamannya di masa agresi militer Belanda plus percobaan kudetanya terhadap Presiden Soekarno. Kekejaman Westerling dituding memakai cara-cara Gestapo. Tudingan ini bukan hanya dari pihak Indonesia, tapi tudingan pada Westreling ini justru sangat gencar datang dari orang Belanda sendiri, terutana kaum peduli HAM.

Harian “De Waarheid” di Belanda menurunkan berita bulan Juli tahun 1947, isinya tentang kekejaman Westerling yang dinilai sama dengan kekejaman pasukan Jerman di PD II. Kemudian harian “Vrij Nederland” Juli 1947, juga merinci bagaimana kekejaman Westerling. Misalnya menyuruh dua tawanan bertarung. Lalu yang kalah ditembak mati. Termasuk mengeksekusi orang-orang tak bersalah di depan umum. Maksudnya untuk menakut-nakuti penduduk lain agar mereka mau buka mulut tentang persembunyian gerilyawan.
“Semua orang kampung, juga perempuan dan anak-anak, dikumpulkan dan ditembaki satu per satu. Saya pura-pura mati dan menjatuhkan diri di antara timbunan mayat berlumuran darah Saya tidak berani bergerak sebelum merasa yakin, Westerling dan pasukannya itu benar-benar telah pergi jauh”. Begitulah kesaksian seorang penduduk di Makassar atas aksi kekejaman Westerling.

Ketika masih bekerja di Jakarta, saya pernah mewawancarai seorang pejabat militer yang bermukim di bilangan Matraman Jakarta. Wawancara itu antara lain menyinggung tentang pengalamannya bertemu Westerling. Pak Suryadi bercerita, dia sempat ditahan di sel oleh Westerling. Di sel itu selama hampir tiga hari dia digantung dengan kepala di bawah dan kaki di atas. “Rasanya saya sudah hampir mati saja. Untung saja saya tidak sampai dibunuh”.
Raymond Paul Pierre Westerling, lahir di Istanbul 31 Agustus 1919, adalah tentara bayaran Belanda. Ayahnya Belanda, ibunya Turki. Tapi ada juga yang mengatakan ibunya orang Yahudi, ada yang mengatakan orang Yunani yang lahir di Turki. Simpang siur. Maklumlah, sejak usia 5 tahun Westerling mesti hidup sendiri di panti asuhan karena ditinggal kedua orangtuanya. Mungkinkah kekerasannya disebabkan sejak usia dini dirinya terpaksa tumbuh sendiri di jaman perang yang ganas, tanpa belaian kasih sayang orangtua?

Kapten ini biasa juga dipanggil “Turk”, panggilan yang biasanya ditujukan buat orang-orang berdarah Turki di Belanda.

Dia bisa bergabung dengan kesatuan Belanda, setelah mendatangi konsulat Belanda di Istanbul dan menawarkan diri sebagai sukarelawan perang. Kebrutalannya dan nalurinya sebagai penjagal mungkin membuat perang menjadi tempat yang cocok untuknya. Dia sendiri pernah mengakui, dalam perang dia menemukan kesenangannya. Keahliannya dalam kemiliteran adalah sabotase dan peledakan. Dia digojlok dalam satuan komando dengan training yang karena begitu kerasnya disebut “neraka dunia”, di Pantai Skotlandia yang dingin kosong melompong tanpa penghuni. Latihan keras untuk meraih baret hijau itu antara lain bertarung dan membunuh dengan tangan kosong, tanpa suara.
Berbekal segudang training berat kemiliteran, akhirnya Westerling sang tentara bayaran ditugaskan ke Indonesia untuk menumpas pemberontakan. Tugas sebagai pimpinan pasukan komando baret merah berada di pundaknya.

Seorang eks anak buahnya menggambarkan Westerling sebagai, “Orang yang kejam, tidak menghargai hidup dan suka melanggar janji. Dia bisa membiarkan tahanan di sel berhari-hari tanpa diberi makanan. Kadang dijanjikannya bahwa tawanan akan dilepaskan kalau mereka mau menolong Westerling. Tapi setelah tawanan itu sudah terlalu lemah dan tidak bisa lagi berjalan, malah langsung ditembak mati”.

Bahkan bagi anak buahnya sendiri, kekejamannya kadang dinilai keterlaluan. Sampai kadang ada yang menolak melaksanakan perintahnya, karena tak sampai hati menembak tawanan. Akibatnya anak buah yang membangkang tentu saja harus menerima hukuman indisipliner dari sang kapten ini.

Di Indonesia Westerling dikenal sebagai “algojo” yang melakukan pembantaian berkubang darah, terutama di berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Dari kota Makassar sampai kabupaten Barru, Parepare, Pinrang, Sidrap, dan Enrekang. Kejadian itu sekitar Desember 1946 – Februari 1947. Korban terbanyak adalah di Galung Lombok, kabupaten Barru. Untuk mengenang sejarah kelam itu, pemerintah kota membangun tugu di kota Makassar, disebut monumen korban 40.000 jiwa. Apakah betul sebanyak 40.000 jiwa, hingga kini masih diperdebatkan kebenarannya jumlahnya. Namun ada satu hal yang jelas. Nyaris semua kesaksian, baik pihak Indonesia maupun pihak Belanda sendiri membenarkan bagaimana kejinya kekejaman Westerling. Dia adalah prajurit yang sangat mudah menembak mati seseorang, tanpa alasan jelas. Seperti menembak burung saja. Itu belum terhitung menyiksa tawanan secara tidak berperikemanusiaan.

Untuk menggambarkan kekejaman Westerling yang berdarah dingin itu, J. Dancey seorang perwira Inggris bercerita, “Suatu pagi saya mendatangi Westerling untuk minum dan ngobrol bersama. Tiba-tiba dengan tenang dia mengambil potongan kepala dari keranjang sampah di samping meja kerjanya. Katanya itu potongan kepala dari pimpinan pemberontak yang baru saja dipenggalnya”. Westerling seakan ingin mengajari perwira Inggris itu, “begini lho caranya kalau mau menumpas pemberontakan!”.

Situasi perang kadang membuat seorang prajurit mesti bertindak “saya yang mati atau kamu yang mati”. Sehingga mau tidak mau, kadang mesti membunuh. Namun itu tidak berarti prajurit tidak pakai aturan dan diperbolehkan membunuh sesuka hati. Tetap ada aturannya. Jika tidak, maka bisa kena tuduhan melakukan pelanggaran HAM.

Karena melakukan pembunuhan seenak perutnya sendiri, maka perbuatan Westerling tergolong pelanggaran HAM dan dituding melakukan kejahatan perang. Westerling memang menumpas pemberontakan dengan caranya sendiri. Dengan cara bengis dan kejam. Padahal ketika itu sesuai ketentuan Westerling harus berpegang pada Pedoman Pelaksanaan bagi Tentara untuk Tugas di Bidang Politik dan Polisional. Karena keluar dari pedoman komando, Westerling pun dipecat tahun 1948. Di Belanda pun, status Westerling masih sering diperdebatkan. Pahlawan atau penjahat?

Sebagian pihak di Belanda pernah mengelu-elukan Kapten Westerling sebagai pahlawan yang berhasil menumpas pemberontakan. Tapi ada juga kaum kritis di Belanda yang mengatakan Westerling itu cuma seorang penjahat perang.
Jika saya ke Indonesia, kadang ditanya, “Kenapa sih kamu menikah dengan orang Belanda?. Mereka itu kan penjajah?!”. Bahkan saya pernah bertemu orang yang menolak menyopir mobil karena di antara rombongan ada orang Belandanya.

Jaman sudah berubah. Sejarah bergulir dengan cepat. Namun dendam sejarah masa lampau masih membuat sebagian orang Indonesia tetap menyimpan citra kelabu tentang Belanda.
Faktanya, justru rakyat Belanda sendiri yang mendesak pemerintah Belanda untuk minta maaf terhadap rakyat Indonesia atas kejahatan perang di masa lalu. Bahkan penyelidikan dan penelitian tentang kejahatan dan pelanggaran HAM agresi militer Belanda diungkap sendiri oleh para sejarawan Belanda dan pers Belanda sendiri.

Karena itu sekarang mulai sedikit terkuak misteri, mengapa di masa hidupnya Westerling bisa leluasa bergerak sana-sini. Ini janggal. Apalagi gara-gara kebengisannya di Sulawesi Selatan, ketika itu Westerling sudah dipecat dari kesatuannya. Tapi anehnya, sesudah itu Westerling malah berhasil mendirikan organisasi rahasia, mengumpulkan kekuatan, pendukung dan punya kekuatan senjata. Puncaknya di tahun 1950 malah melakukan kudeta terhadap Indonesia sebagai negara berdaulat. Padahal sehebat-hebatnya Westerling, seberapa hebat sih kekuatan seorang tentara sewaan?

Aneh. Sudah jelas-jelas melakukan kejahatan perang, dipecat, tidak punya fungsi strategis apa-apa di kemiliteran tapi kok bisa lepas dari jerat hukum? Ditambah masih kurang ajar berani mengkudeta Soekarno pula. Padahal ketika itu banyak suara, baik dari pihak Indonesia maupun Belanda sendiri yang ingin Westerling diseret ke mahkamah militer.
Boro-boro diajukan ke pengadilan, tahu-tahu setelah pemecatannya, malah terdengar kabar Westerling berhasil mengumpulkan 500.000 pengikut dan mendirikan organisasi rahasia bernama “Ratu Adil Persatuan Indonesia” (RAPI), dilengkapi kesatuan bersenjata yang dinamakan “Angkatan Perang Ratu Adil” (APRA).

Dengan organisasinya itu, tahun 1950 Kapten “Turk” alias Westerling bekerja sama dengan Darul Islam Jawa Barat mengadakan kudeta yang dikenal dengan peristiwa “kudeta 23 Januari”. Di balik kudeta ini kemudian terungkap juga keterlibatan Sultan Hamid II, eks perwira KNIL (beristrikan wanita Belanda), putra sulung Sultan Pontianak. Motif kudeta di antaranya ingin mendirikan negara sempalan yang bernama Negara Pasundan. Pasukan Westerling menembaki setiap tentara TNI yang ditemui. Sebanyak 79 pasukan Siliwangi dan enam penduduk sipil gugur. 

Tapi kudeta itu berhasil digagalkan pasukan TNI. Kegagalan kudeta itu antara lain karena diwarnai desersi anak buah Westerling sendiri. Pemerintah dan militer Belanda sendiri mengaku tidak pernah mendukung kudeta itu. Walaupun demikian, tak bisa disangkal adanya andil dari “oknum” Belanda - siapapun dan apapun namanya, terhadap suksesnya Westerling meloloskan diri ke Belanda.

Sejak peristiwa kudeta gagal itu, Westerling semakin menjadi buruan Indonesia. Namun berkat koneksinya dengan beberapa pejabat militer, akhirnya Westerling dengan menumpang pesawat Catalina berhasil lari ke Singapura. Di negara ini dia sempat ditahan oleh pasukan Inggris selama dua minggu. Namun selanjutnya “Kapten Turk” berhasil lari ke Belgia. Sesudah itu secara diam-diam masuk ke Belanda. Permintaan Indonesia untuk mengekstradisi Westerling tak pernah dikabulkan.

Pemerintah Indonesia tentu saja tahu bahwa tuntutan HAM tidak pernah mengenal batas kadaluarsa. Jika hingga kini tak pernah terdengar adanya tuntutan Indonesia terhadap Belanda terkait masalah ini, mungkinkah karena didasari pertimbangan politis tertentu?
Lolosnya Westerling dari jeratan hukum, menimbulkan pertanyaan yang beberapa lama tidak pernah terjawab. “Mengapa selama itu Westerling bisa lenggang kangkung di balik semua pelanggaran yang sudah dilakukannya? Adakah orang kuat di belakang Westerling? Adakah konspirasi di balik kudeta Westerling? Siapa orang kuat di balik kudeta Westerling? Dari mana Westerling bisa memperoleh senjata? Seberapa besar kekuatan tentara bayaran Westerling hingga bisa membentuk pasukan elit-nya sendiri untuk melakukan kudeta?”.
Latar belakang Westerling ternyata tidak sesederhana yang diduga. Westerling pernah menjadi pengawal pribadi Lord Mountbatten, pernah bekerja untuk dinas rahasia Belanda di London dan akhirnya benang merahnya.....tahun 1944 pernah bekerja sebagai pengawal pribadi Pangeran Bernhard.

Akhirnya teka-teki di balik kejanggalan semua ini terkuak, melalui penelusuran dan penelitian sejarawan Belanda bernama Harry Veenendaal dan wartawan Belanda, Jort Kelder.
Setelah mengadakan penelitian selama 8 tahun, keduanya berhasil mengumpulkan bukti dan dokumen tentang keterlibatan Pangeran Bernhard di balik kudeta Westerling. Rupanya suami Ratu Juliana itu ingin seperti Lord Mountbatten yang pernah menjadi raja di India. Jika kudeta Westerling itu berhasil, menurut bukti-bukti yang ada, disebutkan Pangeran Bernhard ingin menjadi raja di Indonesia. Apakah sang Pangeran ingin mempunyai fungsi penting lain daripada “cuma” sebagai suami ratu?

Temuan di atas berdasarkan kesaksian dari laporan Marsose dan buku harian sekretaris pribadi istana, Gerrie van Maasdijk. Sekretaris ini dulu dipecat setelah konfliknya dengan Pangeran Bernhard. Penemuan itu dirangkum dalam buku berjudul “ZKH”, Zijne Koninkelijke Hoogheid (Paduka Yang Mulia Pangeran). Menurut penyelidikan ternyata Westerling pernah mengadakan kontak rahasia dengan staf Pangeran Bernhard sehubungan dengan kudeta itu.
Penelusuran mengarah ke bukti-bukti adanya bantuan rahasia penyaluran senjata dari pihak Pangeran Bernhard terhadap pasukan Westerling. Bahkan ada temuan yang menunjukkan bahwa sang Pangeran sudah mengantisipasi jika kudeta itu berhasil. Yaitu permintaan bantuan kepada Jendral Douglas Mac Arthur sebagai panglima di pangkalan Pasifik untuk mengirim pasukannya, jika kudeta Westerling sukses dan menimbulkan perang saudara.

Kalau kita harus menentukan pemenang di antara Westerling, Soekarno, Pangeran Bernhard: siapakah setelah perang yang pantas disebut sebagai pemenang? Westerling yang walaupun disebut penjahat perang, tapi sampai mati tidak pernah diseret ke mahkamah militer? Presiden Soekarno yang gagal dikudeta Westerling (tapi berhasil dikudeta “geger 1965”)? Pangeran Bernhard yang terkesan “immun” karena posisinya sebagai suami sang Ratu?
Entahlah. Orang bilang, di dalam perang yang menang jadi abu, kalah jadi arang. Semua ketiga tokoh di atas sudah “Rest in Peace”. Bagi orang-orang di “alam RIP”, soal kalah dan menang tidak lagi penting. Toh kehidupan sudah memberi setiap orang jatah kemenangan dan kekalahannya masing-masing. Kemenangan bagi seseorang, mungkin disebut kekalahan di mata orang lain. Begitu juga sebaliknya.

Yang jelas, cerita sejarah perang mungkin saja bisa jadi cerita menarik. Tapi sayang sekali nyaris tak ada cerita tentang damai di dalamnya. 



Sumber :  http://dewhira.blogspot.com