Senin, 06 Februari 2012

Revolusi ala Soviet di Banten



Banten ternyata memiliki beberapa kisah perjuangan rakyat yang revolusioner. Perlawanan petani 1888, pemberontakan kaum komunis dan ulama tahun 1926,  juga revolusi sosial ditahun 1945-1946, adalah beberapa contoh kisah perlawanan rakyat yang sangat jarang disebut dalam buku sejarah resmi versi negara. 

Salah satu riwayat perlawanan rakyat yang menarik dibahas adalah revolusi sosial ditahun 1945-1946. Revolusi ini meletus dibeberapa kabupaten dan  kota di daerah Banten, seperti Serang, Pandeglang, Lebak dan Tangerang. Menariknya, revolusi ini memiliki pola yang hampir mirip dengan revolusi Bolshevik di Rusia tahun 1917, yakni berbasiskan kekuatan Dewan Rakyat. 

Dewan Rakyat atau Soviet 

Pasca kegagalan pemberontakan komunis (PKI) dan kelompok ulama ditahun 1926, situasi Banten bagaikan ‘api dalam sekam’. Benih-benih kebencian  tumbuh dihati rakyat, terutama di kalangan kaum tani tertindas. Kebencian yang tidak hanya tertuju pada kolonial ‘kulit putih’, tetapi juga kepada para pejabat pribumi pro kolonial. Para pejabat, seperti Bupati atau Pamong Praja, selalu tunduk pada kehendak pihak kolonial, sekalipun hal itu mengorbankan kepentingan rakyat. 

Sementara dikalangan masyarakat Banten sendiri, ada tiga kelompok yang berada digarda terdepan dalam aksi perlawanan terhadap kolonial dan antek-anteknya. Kelompok-kelompok tersebut adalah kelompok komunis yang berhimpun dalam PKI, jawara dan ulama. Pada pemberontakan tahun 1926, kelompok komunis dan ulama lah yang menjadi penggerak utamanya. Namun setelah pemberontakan 1926 gagal, kelompok komunis pun mengalami kehancuran. Banyak kader-kadernya yang dihukum mati atau dibuang ke Digul, dan sisanya melarikan diri ke Semenanjung Malaya (Suharto, 2008). 

Salah satu tokoh terkemuka dari PKI di daerah Banten yang turut melarikan diri ke Malaya adalah Tje Mamat. Beliau merupakan Sekretaris PKI cabang Anyer. Kelak, tokoh inilah yang menjadi pimpinan Dewan Rakyat ketika revolusi sosial tahun 1945-1946. 
Di akhir dekade 1930-an, banyak pelarian komunis yang kembali ke Banten dan mengadakan kontak dengan kelompok jawara dan ulama. Konsolidasi kekuatan kembali dilakukan. Namun tak lama kemudian, Jepang menginvasi Hindia Belanda ditahun 1942. Seluruh nusantara, termasuk Banten, menjadi daerah pendudukan Jepang. 

Dimasa pendudukan Jepang, polarisasi kekuatan dikalangan masyarakat Banten kembali berubah. Kelompok ulama diakomodasi oleh pemerintah Jepang untuk mengambil hati masyarakat Banten (Suharto,2008). Beberapa tokoh ulama Banten menjadi pimpinan organisasi militer buatan Jepang, seperti Peta dan Heiho. Hal ini berlansung seiring dengan politik akomodasi pemerintah fasis Jepang terhadap kekuatan Islam untuk melawan “imperialis Barat”.
 Disisi lain, kelompok-kelompok kiri dan jawara tetap mengambil tendensi non-kompromistis terhadap penjajah Jepang. Perlawanan ‘bawah tanah’ tetap dilakukan Tje Mamat dan kawan-kawan. Konsekuensinya, Tje Mamat dan beberapa kawannya dijebloskan ke penjara oleh Kempetai, polisi militer Jepang, pada tahun 1944. 

Tje Mamat cs baru dibebaskan pasca Proklamasi kemerdekaan dikumandangkan pada 17 Agustus 1945. Pada masa inilah, ketegangan sosial di Banten dimulai. Ketegangan yang tidak hanya terjadi antara pihak Jepang dengan kelompok pro-Republik, namun juga antara kelompok pro Republik dengan kaum sosial revolusioner. Kelompok pro-Republik kebanyakan terdiri dari kaum ulama dan kelompok pemuda yang menjadi bagian dari jaringan gerakan pemuda di Jakarta. Sementara kaum sosial revolusioner adalah para kader komunis dan sebagian jawara, termasuk Tje Mamat. 

Ketegangan itu terjadi disebabkan perbedaan sikap kedua kelompok dalam menghadapi kondisi yang terjadi ketika itu. Kelompok pro-Republik yang dipimpin para ulama masih toleran dengan para pejabat Pamong Praja yang menjadi ‘pelayan’ kolonialis Belanda maupun Jepang. Alasannya, mereka lebih pengalaman dalam urusan administrasi pemerintahan. Sementara, kelompok revolusioner beranggapan bahwa para pamong praja tidak layak lagi memimpin rakyat, karena mereka  memandang para pamong praja akan menghambat perlucutan senjata dan pengambilalihan kekuasaan dari pihak Jepang. Selain itu para pejabat tersebut  juga banyak yang ‘lari’ dari Banten pasca Proklamasi karena takut pada gerakan rakyat. 

Salah satu pejabat pamong yang lari dari Banten adalah Residen  R.Tirtasuyatna. Padahal ia telah resmi diangkat sebagai Residen Banten oleh pemerintah Republik diJakarta. ‘Kabur’nya sang residen menyebabkan terjadi vacuum of power di Banten. 

Sementara para bupati yang tersisa enggan mengambil tanggung jawab sebagai residen. Situasi itu menyebabkan kelompok ulama yang didukung gerakan pemuda berinisiatif mengambil alih kekuasaan Banten dengan persetujuan pemerintah RI. Seorang ulama kharismatik, KH.Akhmad Khatib, diangkat sebagai Residen Banten pada tanggal 6 Oktober 1945. K.H. Ahmad Khatib ini merupakan salah satu ulama yang terlibat pemberontakan 1926 bersama kaum komunis. Di masa pendudukan Jepang, ia diangkat sebagai daidanco Peta wilayah Banten oleh pemerintah Jepang. 

Setelah diangkat menjadi residen, K.H.Ahmad Khatib tetap mempertahankan para bupati lama pada posisinya masing-masing. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, Khatib dan kelompok ulama berpandangan jika  para bupati itu masih dibutuhkan pada masa transisi kemerdekaan karena lebih menguasai administrasi pemerintahan di daerahnya
Kebijakan Residen itu tidak disukai sebagian kelompok pemuda dan kaum kiri revolusioner. Mereka menginginkan perombakan total terhadap para pejabat lama yang tiada lain adalah bekas antek penjajah. Namun, pihak pemerintah tidak merespon tuntutan ini. Inilah awal dari ketegangan baru di Banten, sekaligus juga awal dari revolusi sosial di tanah Banten. 
Kaum revolusioner yang terdiri dari kader-kader PKI, jawara, kaum tani dan rakyat miskin pedesaan mengorganisir diri dalam suatu organisasi yang bernama “Dewan Rakyat”. Konon, Dewan Rakyat yang dipimpin Tje Mamat ini mengambil referensi dari dewan rakyat atau Soviet di Rusia ketika Revolusi Bolshevik berlangsung 1917. Dewan ini didirikan dengan tujuan merebut kekuasaan demi kedaulatan rakyat yang sejati. 

Digunakannya dewan rakyat yang serupa dengan Soviet sebagai instrumen perebutan kekuasaan memang merupakan sebuah konsekuensi logis dari besarnya pengaruh kader-kader PKI termasuk Tje Mamat dalam pembentukan dewan tersebut. Selain itu, pembentukan dewan rakyat juga tak lepas dari saran Tan Malaka terhadap tokoh-tokoh kiri di Banten agar membentuk organisasi rakyat yang bertujuan mencapai kemerdekaan rakyat sejati. Dan bukan rahasia pula bila Tan Malaka adalah sosok yang gandrung pada metode revolusi Bolshevik 1917, seperti halnya Trostky yang menjadi panutannya. Dia adalah tokoh yang selalu menolak taktik kompromistis dengan Belanda, seperti yang kerap dilakukan Syahrir maupun Hatta selama revolusi kemerdekaan (1945-1949). Kedekatan kader-kader PKI Banten, termasuk Tje Mamat dengan Tan Malaka, diulas dalam buku Harry A. Poeze yang berjudul Pergulatan Menuju Republik: Tan Malaka 1925-1945. 

Revolusi sosial mulai merebak ketika kaum tani yang diorganisir Dewan Rakyat bergerak merampas harta-harta milik para pejabat pamong praja, orang-orang Jepang serta Belanda yang masih tersisa. Di beberapa tempat bahkan terjadi pembunuhan terhadap pejabat pribumi maupun kolonial. Polisi dan tentara Republik pun tak lepas dari sasaran Dewan Rakyat. Hal ini disebabkan karena mereka beranggapan bila angkatan perang Republik atau TKR banyak diisi perwira dan prajurit alumni Peta buatan Jepang. 

Setiap pergerakan Dewan Rakyat ini selalu diiringi dengan slogan-slogan revolusioner semacam ”Rakyat Akan Menjadi Hakim”, “Satu Untuk Semua” dan  “Utang Padi Dibayar Padi, Utang Darah Dibayar Darah” (Soendji, 1983). Klimaks dari pergerakan mereka terjadi ketika rombongan Dewan Rakyat dibawah pimpinan Tje Mamat mendatangi karesidenan Banten. Ketika itu, mereka  menuntut Residen K.H. Ahmad Khatib  untuk merombak struktur pemerintahan diBanten yang masih diisi pejabat-pejabat lama untuk digantikan dengan orang-orang yang dipercaya oleh Dewan Rakyat. 

Residen menyetujui keinginan Dewan Rakyat itu. Residen menyusun ulang sturktur pemerintahan di Banten dari level Bupati hingga lurah. Intinya, para pejabat ‘warisan’ kolonial dicopot dan digantikan dengan kaum ulama yang menduduki posisi Bupati hingga lurah. Ulama juga diberi peranan sebagai pimpinan angkatan perang wilayah Banten. 
Pasca perombakan susunan pemerintahan tersebut, keinginan untuk mellikuidasi kekuatan Jepang makin besar.  Seluruh kekuatan pro-republik merencanakan penyerangan Markas Kempetai Serang pada tanggal 11 Oktober 1945. Pihak Jepang pun kalah dan terusir dari Serang. 

  Angkat kakinya Jepang dari Serang merupakan keberhasilan awal dari revolusi sosial yang digerakkan Dewan Rakyat. Revolusi berlanjut dengan pembebasan orang-orang yang dipenjarakan oleh Jepang di Penjara Utama Serang. Puluhan tokoh masyarakat dan Jawara yang dipenjarakan disana dibebaskan. Sebagai gantinya, beberapa mantan pejabat pamong, orang Belanda serta  priyayi dipenjarakan oleh gerakan rakyat. 

Revolusi menjalar keseluruh wilayah Karesidenan Banten. Dimana-mana terjadi pergantian  pejabat Pamong praja  oleh para ulama. Ada proses pergantian yang berjalan mulus, namun ada juga yang disertai kekerasan. Proses pemilihan  pejabat baru yang didominasi kaum ulama itu dilakukan melalui rapat-rapat umum (vergadering) yang kebanyakan  diorganisir oleh Dewan Rakyat. Tampak adanya proses demokrasi yang berakar dari pengorganisiran dan partisipasi rakyat, serupa dengan konsep Demokrasi Kerakyatan yang menjadi azas dari banyak gerakan kiri diseluruh dunia hingga kini. 

Meskipun pasca revolusi pemerintahan diseluruh Karesidenan Banten  didominasi oleh ulama, namun Dewan Rakyat tetap memiliki peran yang sentral. Sesuai kesepakatan dengan Residen Banten, Dewan Rakyat  memiliki fungsi  Eksekutif (pemerintahan), sementara jabatan Residen  hanya bersifat simbolis. Selain itu, Dewan Rakyat membentuk lembaga kepolisian sendiri, yang dinamakan Polisi Keamanan Rakyat dan kemudian dikenal sebagai Polisi Khusus. 

Dewan Rakyat juga memiliki pasukan tersendiri, yang tidak melebur dalam TKR. Pasukan Dewan Rakyat itu bernama Laskar Gulkut, yang merupakan akronim dari Gulung Bukut  atau “Basmi  Pamong Praja”. Nama ini berkaitan dengan tindakan mereka yang kerap menyerang aparat pamong praja yang dianggap antek kolonial. Anggota Laskar Gulkut ini kebanyakan dari kalangan  jawara. 

Guna menangani problem ekonomi rakyat, Dewan Rakyat  membentuk Dewan Ekonomi Rakyat yang mengatur distribusi pangan bagi kebutuhan rakyat. Dewan Rakyat  mengambil alih cadangan pangan dari pihak Jepang dan pamong praja serta  membagi-bagikannya langsung kepada rakyat. Seluruh stok pangan yang selama ini ditimbun oleh pihak berkuasa disita dan dibagikan langsung kepada rakyat terutama kaum tani miskin. Upaya ini menjadi bagian dari revolusi yang bertujuan merombak alokasi sumber daya yang tidak adil selama masa kolonialisme. 

Akhir Revolusi Sosial

  Revolusi Dewan Rakyat  di Banten ini menjadi simbol kemenangan rakyat dalam melumpuhkan struktur politik kolonial. Namun, disisi lain, revolusi ini tidak menghentikan pertentangan dengan kaum pro-Republik lainnya. Hal ini disebabkan karena  Tje Mamat sebagai pimpinan Dewan Rakyat tidak mengakui  Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai lembaga tertinggi negara karena diisi oleh antek-antek Jepang. Menurutnya, hanya Dewan Rakyat yang dapat dianggap sebagai manifestasi dari demokrasi  rakyat yang sebenarnya. Banyak pihak, termasuk kaum ulama, yang menentang pandangan Tje Mamat tersebut. 

Pemikiran Tje Mamat yang semacam itu, juga  misi Dewan Rakyat untuk menuntaskan revolusi dengan cara ‘membasmi’ para pejabat lama, mengundang perhatian pemerintah pusat.  Bung Karno dan Bung Hatta  pun berkunjung  ke Rangkasbitung pada tanggal 10 Desember 1945. Disaat yang sama, pasukan Dewan Rakyat menculik dan membunuh bekas Bupati Lebak, RT Hardiwinangun. Pembunuhan itu mengakibatkan pertentangan dengan ulama dan TKR makin menghebat. 

Namun, bagi Dewan Rakyat, aksi pembunuhan itu merupakan penegasan bagi sikap mereka yang menuntut penghukuman terhadap para mantan pejabat yang kejam pada rakyat dimasa penjajahan dulu. Pertentangan  antara Dewan Rakyat dan TKR pun menjelma menjadi peperangan. 

Menyikapi konflik tersebut, pemerintah pusat berpihak pada kaum ulama dan TKR yang dipandang sebagai wakil sah pemerintah pusat di wilayah Banten. Pemerintah seperti melupakan peranan dari Dewan Rakyat yang mempercepat pengambilalihan kekuasaan dari Jepang serta penyalur aspirasi kaum tani tertindas. Wakil Presiden Mohamad Hatta  bahkan menganggap  Dewan Rakyat  tidak berguna dan  sebaiknya dibubarkan saja. 
Penumpasan Dewan Rakyat, yang berarti penghentian laju revolusi sosial, pun dimulai. Pasukan TKR berhasil menangkap para pemimpin Dewan Rakyat seperti Tje Mamat dan Ali Arkam pada bulan Januari 1946 di Ciomas. Seluruh anggota laskar Gulkut ditangkap dan dilucuti. Dewan Rakyat pun dibubarkan. 

Revolusi sosial di Banten  tahun 1945-1946 merupakan salah satu peristiwa perjuangan rakyat yang harus tetap dicatat dalam lembaran sejarah bangsa. Revolusi tersebut juga memberikan pelajaran penting bahwasanya konsep-konsep  revolusioner, seperti Demokrasi Kerakyatan, Dewan Rakyat atau Pemerintahan Revolusioner, pernah menjadi bagian tak terpisahkan dalam revolusi kemerdekaan kita. Semua konsep itu bahkan pernah teraplikasikan, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. 


HISKI DARMAYANA
Penulis adalah kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Sumedang dan alumni FISIP Universitas Padjajaran Bandung


 
Sumber : http://www.berdikarionline.com/gotong-royong/20120130/revolusi-ala-soviet-di-banten.htm